Dahulu, hewan dimanfaatkan sebagaimana mestinya untuk berperang atau alat transportasi. Kini realita sudah berbalik, para ‘mafia’ satwa liar sudah menciptakan sejarah baru. Mereka memanfaatkan hewan sebagai produk komersial dan diperdagangkan secara ilegal. Ada yang dijual langsung ke kolektor, atau bagian tubuhnya diolah kembali menjadi makanan atau barang dengan nilai jual tinggi.

Perdagangan Primata di Bumi Sriwijaya

“Primata yang diperdagangkan di Palembang, Sumatera Selatan bukan hanya dijual sebagai hewan peliharaan saja, namun juga dikonsumsi daging dan otaknya.”

Deretan kandang sempit dan tidak layak berisi sekumpulan primata, seolah menjadi pemandangan biasa di Pasar 16 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan. Meskipun kecil, Pasar 16 Ilir dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan satwa liar di Sumatera. Berbagai primata di jual secara bebas di pasar ini.

Harga primata yang diperdagangkan di Pasar 16 Ilir bervariasi, tergantung jenis, umur, status perlindungan, dan ketersediaan primata. Harga paling mahal adalah untuk primata langka yang berumur muda. Misalnya, seekor kukang dibanderol dengan harga Rp. 150.000, siamang Rp 2 juta, monyet ekor panjang Rp 100.000 dan lutung Rp 150.000.

Salah satu pedagang khusus primata mengaku, dirinya mampu menjual kukang hingga 50 ekor dan 3 ekor lutung dalam sebulan, tergantung persediaan. Untuk asal primata tersebut, satwa liar yang diperdagangkan berasal dari kawasan konservasi alam yang berada di wilayah Sumatera Selatan.

Fakta yang lebih mencengangkan adalah, primata yang dijual di Palembang bukan hanya dijadikan satwa peliharaan, tetapi untuk dikonsumsi daging dan otaknya. Kebanyakan primata tersebut merupakan jenis monyet ekor panjang. Konsumen olahan monyet biasanya para pelaut yang berasal dari China, Taiwan, Vietnam, dan Korea yang kapalnya bersandar di pelabuhan Palembang.

Tak hanya di Palembang, perdagangan daging monyet pun terjadi di Jakarta. Daging monyet tersebut dijual dalam bentuk sate dan abon. Diperkirakan, dalam satu bulan ada sekitar 50 ekor monyet yang dibunuh untuk diolah menjadi santapan konsumen.

Sayangnya, penegakan hukum perdagangan satwa liar ini masih lemah. Padahal perdagangan primata yang dilindungi undang-undang, baik yang hidup atau bagian tubuhnya sudah jelas tidak dibenarkan dan melanggar hukum UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.

Sementara itu, meskipun monyet ekor panjang belum termasuk ke dalam daftar satwa yang dilindungi tetap saja penangkapan secara illegal tidak dibenarkan dan melanggar UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. − Data survei Protection of Forest & Fauna (PROFAUNA) bulan Maret-Mei 2012

 

Kasus perdagangan satwa liar di Palembang, hanya satu contoh kecil di antara ribuan kasus perdagangan satwa yang terjadi di Indonesia. Bahkan selama 5 tahun terakhir, perdagangan satwa liar yang dilindungi didominasi oleh perdagangan secara online, salah satunya melalui jejaring sosial Facebook dan Blackberry Messanger.

Andai Hewan Bisa Bicara, Akankah Mereka Menggugat Para Mafia Penjualan Satwa?

Sumber: zoo.org

“Sejak bulan Januari hingga pertengahan Desember 2015 terdapat setidaknya ada sekitar 5.000 kasus perdagangan satwa liar secara online”- PROFAUNA

Sarah Stoner, aktivis pecinta satwa dari Traffic juga menyatakan, pihaknya telah menemukan 236 postingan ilegal, di antaranya ada 106 penjual satwa langka yang berbeda. Hal ini berarti jumlah orang yang terlibat sudah cukup banyak dan semakin menunjukkan bahwa perdagangan satwa langka melalui media sosial semakin marak.

Ada beberapa kasus perdagangan satwa liar dengan jumlah mengejutkan, salah satunya perdagangan 96 ekor trenggiling hidup, 5.000 kg daging trenggiling beku, dan 77 kg sisik trenggiling yang terungkap di Medan pada bulan April 2015, lalu.

Penyebab Perdagangan Satwa Liar

Dikutip lama www.profauna.net pada 27 Mei 2016, World Wide Fund for Nature (WWF) menengarai bahwa Indonesia khususnya wilayah Riau, menjadi tempat favorit perdagangan satwa di Sumatera setelah Jakarta. Selain Malaysia, Taiwan dan Tiongkok juga menjadi negara tujuan akhir perdagangan ilegal organ satwa liar yang dilindungi.

Andai Hewan Bisa Bicara, Akankah Mereka Menggugat Para Mafia Penjualan Satwa?

Sumber:  aa.com

Banyaknya permintaan dan tingginya harga jual seolah menjadikan perdagangan satwa liar yang dilindungi ini sebagai surga bisnis para ‘mafia’ penjualan satwa dalam mengeruk keuntungan.

“Sepasang gading gajah bisa dibanderol dengan harga 20 juta per kilogram. Belum lagi trenggiling dalam bentuk daging mentah maupun sisik yang dihargai Rp1,2 juta per kilogram. Sedangkan 1 lembar kulit harimau rata-rata dihargai Rp50 juta dan cula badak dipatok lebih mahal, yakni mencapai Rp 300 juta per item.”

Dibalik harganya yang meroket, mungkin di antara kita tidak menyadari bahwa sebanyak 40% satwa liar yang diperdagangkan mati akibat proses penangkapan yang menyakitkan, kandang sempit, dan makanan yang kurang. Sekitar 60% mamalia yang diperdagangkan di pasar burung adalah jenis langka dan dilindungi. Sebanyak 70% primata yang dipelihara masyarakat menderita penyakit dan penyimpangan perilaku.

Hal ini semakin membuktikan bahwa perdagangan satwa liar itu adalah kejam!

Keadaan Mencekam dan Kritis, Perdagangan Ilegal Satwa Liar Jadi Isu Global di Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2016

Go Wild for Life, Zero Tolerance For The Illegal Wildlife Trade diangkat menjadi tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2016 atau World Environment Day (WED) 2016 melalui UNEP (United Nations Environment Programme). Isu “memerangi perdagangan ilegal satwa liar tanpa kompromi” ini diangkat dengan maksud melindungi satwa liar yang langka dan dilindungi dari kepunahan.

Andai Hewan Bisa Bicara, Akankah Mereka Menggugat Para Mafia Penjualan Satwa?

Sumber: sknclt.com

Di mana perdagangan ilegal satwa liar telah mengikis keanekaragaman hayati di bumi dan mengancam kelangsungan hidup berbagai spesies yang mengagumkan, seperti badak, gajah, harimau, orangutan, dll. Hewan-hewan tersebut saat ini semakin berkurang dan terancam punah.

Pada tahun 2011, subspesies badak Jawa pun punah di Vietnam, bersamaan dengan punahnya badak hitam di Kamerun di tahun yang sama. Kumpulan kera besar pun telah punah di Gambia, Burkina Faso, Benin, dan Togo. Kemungkinan lebih banyak satwa liar langka dan dilindungi yang berangsur punah di negara-negara lain akibat perdagangan ilegal ini.

Untuk itulah, tema WED 2016 “Go Wild for Life” ini mendorong Anda untuk memerangi perdagangan ilegal dan tidak memberikan toleransi terhadap perdagangan ilegal satwa liar di Negara manapun, termasuk Indonesia. Serta, mendorong pemerintah dan badan-badan internasional untuk menegakkan hukum yang lebih tegas dalam menindak para ‘mafia’ penjualan satwa liar.

Berbicara mengenai regulasi, hukum perdagangan satwa liar di Indonesia sebenarnya sudah diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pelaku perdagangan dan pemeliharaan satwa dilindungi tanpa izin dapat dikenakan hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta. Sayangnya, penegakan hukum perdagangan di Indonesia masih terasa lemah.

Dilansir dari www.tempo.com pada 18 Juni 2015, contoh kasus rendahnya vonis adalah kasus penyelundupan satwa liar antar negara, Basuki Ongko Raharjo. Majelis Hakim yang diketuai Ferdinandus di Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan hukuman sangat ringan terhadap pelaku, yaitu pidana penjara enam tahun, dengan masa percobaan satu tahun penjara pada tanggal 17 Juni 2015.

Hukuman yang dijatuhkan tentulah tidak sebanding dengan kejahatan satwa liar yang dilakukan Basuki yang telah menyelundupkan seekor opsetan penyu, kucing hutan, kerangka kancil, kepala rusa, organ burung cekakak, bulu merak, dan sigung. Lemahnya penegakan hukum perdagangan satwa liar sudah jelas tidak memberikan efek jera kepada pelaku.

Lakukan Aksi ‘Nyata’ untuk Memerangi Perdagangan Satwa Liar

Kehidupan satwa liar telah diambang kepunahan, apabila usaha perlindungan dan pelestariannya tidak segera dilakukan secara maksimal dengan dukungan dari seluruh pihak yang berkepentingan. Diperlukan beberapa langkah agar perdagangan satwa liar dapat diselesaikan. Salah satunya dengan aksi ‘nyata’ dari semua pihak, termasuk Anda. Berikut cara menjaga kelestarian hutan dan satwa liar yang direkomendasikan PROFAUNA yang bisa Anda lakukan:

  1. Hindari membeli satwa liar, bagian tubuhnya, ataupun produk olahannya.
  2. Laporkan ke polisi atau petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) terdekat jika Anda melihat praktik illegal perdagangan satwa liar.
  3. Sebarkan informasi tentang pelestarian hutan dan satwa liar ke semua orang, termasuk melalui jejaring sosial.

Removing “life” from wildlife proves that you are “wild”.- SHAGUN SHARMA

Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2016!

×