Survei terbaru yang dipublikasikan oleh Accident Advice Helpline menyatakan, satu dari enam pekerja enggan melaporkan potensi bahaya yang mereka lihat di tempat kerja.
Setiap perusahaan atau industri berkewajiban untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan pekerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, salah satunya proaktif dalam melakukan pelaporan bahaya di tempat kerja.
Perlu Anda ketahui, terkadang kecelakaan terjadi karena hal-hal kecil yang sering kali dianggap sepele namun pada akhirnya bisa berakibat fatal. Misalnya, lantai licin, kabel berantakan, kurangnya penerangan, tidak adanya barikade, kebisingan, dll.
Semua potensi bahaya ini dapat dilihat dan juga dirasakan pekerja. Peran manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3), manajer atau supervisor sebenarnya tidak cukup untuk mengantisipasi bahaya-bahaya ini. Oleh karena itu, perusahaan wajib memiliki sistem pelaporan bahaya (hazard report) di tempat kerja yang harus dipatuhi oleh seluruh pekerja tanpa terkecuali, termasuk di dalamnya kontraktor dan tamu perusahaan.
Baca juga artikel ini:
- 6 Langkah Identifikasi Bahaya dan Penilaian Risiko Sesuai Standar OSHA
- Bagaimana Cara Membuat Laporan Kecelakaan Kerja yang Benar? Ini 5 Langkah yang Tidak Boleh Anda Abaikan!
Frekuensi Pelaporan Bahaya di Tempat Kerja Masih Rendah
Pelaporan bahaya mencakup pelaporan kondisi tidak aman dan perilaku tidak aman. Pelaporan bahaya oleh pekerja merupakan sarana penting untuk mengidentifikasi potensi bahaya dan mencatat ketidaksesuaian sebelum kecelakaan terjadi.
Pelaporan bahaya harus menjadi prioritas program K3 karena merupakan pencegahan dasar terjadinya kecelakaan. Pelaporan bahaya merupakan indikasi adanya permasalahan di mana cedera bisa terjadi, meskipun belum menimbulkan kerugian, tetapi pelaporan bahaya menghasilkan informasi yang mengarah kepada tindakan perbaikan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman.
Namun pada kenyataannya, frekuensi pelaporan bahaya yang dilakukan oleh pekerja masih rendah, sering kali dikarenakan pekerja tidak mau berbicara mengenai masalah yang terjadi.
Accident Advice Helpline melakukan survei pada 2.014 pekerja di Inggris, menyatakan satu dari enam pekerja enggan melaporkan keadaan bahaya di tempat kerjanya dan penelitian terbaru menunjukkan 23 persen pekerja bahkan tidak tahu kepada siapa bahaya harus dilaporkan.
Penyebab atau alasan pekerja enggan melakukan pelaporan bahaya di tempat kerja, di antaranya:
- 29% mengatakan mereka tidak memiliki waktu untuk melakukan pelaporan bahaya.
- 24% merasa bahwa bahaya di tempat kerja tidak memengaruhi mereka.
- 23% mengatakan bahwa melakukan pelaporan bahaya bukan tanggung jawab mereka.
- 23% mengatakan tidak tahu kepada siapa mereka harus melaporkan bahaya.
- 13,2% khawatir akan mendapat masalah jika mereka melaporkan bahaya kepada atasan.
- 7,5% diberitahu oleh rekan kerja atau pihak lain di dalam perusahaan untuk tidak melaporkan bahaya.
Seperlima pekerja bahkan telah melihat adanya bahaya di tempat kerja dan mereka sengaja mengabaikannya. Bahaya umum yang biasa dilihat atau diidentifikasi di tempat kerja menunjukkan masalah yang mengkhawatirkan karena bahaya-bahaya ini tidak hanya mengakibatkan cedera, tetapi juga kematian. Bahaya-bahaya yang dimaksud antara lain:
- 58,7% pekerja melihat tumpahan di tempat kerja
- 56,6% pekerja melihat kurangnya keamanan sekitar mesin
- 50,4% pekerja melihat kabel yang berantakan
- 43,5% pekerja melihat permukaan lantai yang tidak rata
- 37,8% pekerja melihat penyalahgunaan peralatan kerja
- 36,3% pekerja mengidentifikasi pekerja lain yang tidak memakai peralatan keselamatan dan kesehatan dengan benar
- 29% pekerja melihat rekan kerjanya yang bekerja di ketinggian tidak mengikuti persyaratan K3 yang diharuskan.
Sementara di Indonesia, pelaporan bahaya dengan pengamatan kondisi dan perilaku tidak aman juga belum maksimal. Sebuah penelitian yang dilakukan di salah satu industri pertambangan pada 2003 menyatakan bahwa pekerja yang melakukan pelaporan bahaya di tempat kerja masih kurang dari 50 persen, tepatnya 22 persen dari 109 pekerja yang disurvei.
Sedangkan penelitian serupa yang dilakukan di salah satu perusahaan otomotif pada 2009 menyatakan bahwa jenis pelaporan bahaya di perusahaan tersebut masih memiliki kendala, yakni pekerja masih belum memahami prosedur pelaporan bahaya.
Mengapa Pelaporan Bahaya di Tempat Kerja Sangat Penting?
Banyaknya bahaya yang tidak dilaporkan atau pelaporan bahaya yang tidak terlaksana dengan baik tentu bisa berdampak buruk. Perilaku atau kondisi-kondisi tidak aman yang tidak teridentifikasi di tempat kerja berpotensi menimbulkan kecelakaan ataupun kejadian yang lebih fatal.
Sumber: safetyposter.co.id
Maka dari itu, pelaporan bahaya sebagai tindakan pencegahan pada perilaku dan kondisi tidak aman sangat penting dilakukan agar terjadinya kecelakaan kerja fatal dapat dihindari. Pelaporan bahaya di tempat kerja merupakan wadah atau media bagi pekerja untuk melaporkan bahaya yang mereka lihat, rasakan, dan temukan di tempat kerja yang berpotensi mengakibatkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Pelaporan bahaya di tempat kerja penting dilakukan dengan tujuan:
- Mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
- Meninjau kembali atau mengevaluasi pengendalian bahaya yang sudah diterapkan di tempat kerja
- Mengetahui tren bahaya dan risiko yang terjadi di tempat kerja
- Meningkatkan kesadaran pekerja akan bahaya dan risiko di tempat kerja
- Menjadi dasar atau acuan bagi manajemen untuk membuat program dan kebijakan K3 di tempat kerja.
Kewajiban pelaksanaan pelaporan bahaya ini sudah diatur dalam PP No.50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen K3 (SMK3), terdapat pada Lampiran I poin C, menyatakan bahwa:
Selain itu tercantum juga dalam Lampiran II poin 8.1 yang menyatakan bahwa prosedur pelaporan bahaya harus dimiliki perusahaan dan prosedur diketahui oleh pekerja.
Pekerja Enggan Melaporkan Bahaya di Tempat Kerja? Ini Solusinya!
Sumber: weeklysafety.com
1. Tidak ada waktu melaporkan bahaya
Pelaporan bahaya harus menjadi bagian dari tugas setiap pekerja. Namun, perusahaan juga harus mendorong pekerja untuk patuh melakukan pelaporan bahaya. Bisa dengan memasukkan pelaporan bahaya ke dalam kebijakan K3 di perusahaan.
2. Bahaya tidak memengaruhi saya
Jika salah satu pekerja mengalami cedera atau kematian di tempat kerja, hal ini akan berdampak juga kepada pekerja lain. Bahaya yang sama ─ penyebab terjadinya kecelakaan kerja ─ jika tidak dikontrol dengan baik, maka bisa mendatangkan insiden serupa di masa mendatang.
Menciptakan budaya K3 di tempat kerja akan membantu pekerja untuk lebih menghargai K3 dan saling memperhatikan satu sama lain jika di area kerja terdapat bahaya yang merugikan.
Sementara banyak pekerja yang mungkin merasa bahwa bahaya tidak memengaruhi mereka, kecelakaan dapat terjadi bahkan pada pekerja yang sadar akan keselamatan. Hal ini bisa saja terjadi, terutama karena banyak bahaya yang diidentifikasi seperti terpeleset, tersandung, dan terjatuh, dapat memengaruhi siapa pun tanpa peduli jenis pekerjaan apa yang mereka kerjakan.
3. Bukan tanggung jawab saya
Sekali lagi, menciptakan budaya K3 yang positif dapat membantu pekerja untuk bertanggung jawab atas keselamatan diri mereka sendiri dan rekan-rekan kerja mereka.
Namun, pelaporan bahaya juga harus menjadi persyaratan bagi semua pekerja. Pelaporan bahaya harus dimasukkan ke dalam setiap kebijakan dan pelatihan K3 untuk memperkuat tanggung jawab yang dimiliki setiap pekerja.
4. Tidak tahu kepada siapa saya harus melapor
Kepada siapa bahaya harus dilaporkan juga harus dimasukkan ke dalam kebijakan atau prosedur pelaporan bahaya yang dibuat dan setiap pertemuan atau pelatihan K3. Anda dapat mempertimbangkan untuk menunjuk perwakilan atau penanggung jawab untuk menerima dan menindaklanjuti setiap laporan yang masuk.
5. Khawatir akan mendapat masalah setelah melaporkan bahaya
Pelaporan bahaya tidak hanya soal disiplin, melainkan tindakan perbaikan dan pencegahan. Pekerja tidak boleh diberi sanksi atau mendapatkan perilaku yang tidak diinginkan, seperti ancaman dan intimidasi karena melaporkan bahaya di tempat kerja dan hindari budaya saling menyalahkan.
Perusahaan dapat mempertimbangkan untuk membuat sistem pelaporan anonim secara online bagi pelapor (pekerja) untuk melindungi pekerja Anda dari perilaku-perilaku yang tidak diinginkan.
6. Diberitahu untuk tidak melaporkan bahaya
Penilaian risiko adalah persyaratan wajib yang harus dilaksanakan di semua tempat kerja. Karena pekerja dianggap orang yang tepat atau orang yang paling mengetahui segala bahaya atau risiko yang ada di tempat kerja, mendorong pekerja untuk melakukan pelaporan bahaya akan membantu Anda dalam proses ini.
Tips Menerapkan Pelaporan Bahaya di Tempat Kerja
Agar pelaporan bahaya di tempat kerja dapat berjalan dengan baik dan optimal, diperlukan alur dan sistem pelaporan yang komprehensif. Ada lima langkah yang dapat Anda lakukan untuk membangun penerapan pelaporan bahaya di tempat kerja, antara lain:
Sumber: safetyposter.co.id
1. Membuat prosedur dan alur pelaporan bahaya di tempat kerja
Ketika menerapkan pelaporan bahaya di tempat kerja, setiap perusahaan memiliki kewenangan untuk mengadopsi, memodifikasi, atau merancang sendiri prosedur dan alur pelaporan bahaya sesuai dengan budaya perusahaan.
Pembuatan prosedur dan alur pelaporan bahaya ini harus melibatkan seluruh tingkatan dalam perusahaan, mulai dari perwakilan pekerja hingga manajemen puncak. Alur pelaporan bahaya secara sederhana dapat dilakukan dengan cara:
Pekerja melihat potensi bahaya ─ langsung ditanggulangi (jika dapat ditanggulangi sendiri) ─ mengisi formulir pelaporan bahaya (hazard report form) ditujukan kepada perwakilan atau penanggung jawab area ─ penanggung jawab area langsung merespons laporan dan segera menindaklanjuti.
2. Menentukan personel pelaksana
Umumnya, personel untuk pelaporan bahaya ini melibatkan penanggung jawab area yang memiliki wewenang di masing-masing departemen; administrator yang biasanya dilakukan oleh departemen K3 atau pekerja lain yang diberi tanggung jawab untuk meneruskan temuan bahaya di lapangan dan membuat rekapan pelaporan bahaya setiap bulannya; dan Site Area Manager yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan area di tempat kerja dan biasanya dipegang oleh manajemen puncak.
3. Membuat formulir pelaporan bahaya
Formulir ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing perusahaan. Umumnya formulir pelaporan bahaya memuat:
- Nama pelapor
- Deskripsi bahaya yang ditemukan di tempat kerja (dapat dilengkapi dokumentasi berupa foto)
- Nama penanggung jawab area
- Prioritas tindakan yang harus dilakukan (tinggi/sedang/rendah), diisi oleh penanggung jawab area
- Tindakan yang harus segera dilakukan penanggung jawab area
- Analisis akar penyebab bahaya
- Perbaikan dan pencegahan yang dilakukan
- Kolom khusus untuk menerangkan apakah bahaya ini sudah diatasi atau belum.
4. Mensosialisasikan dan memberi pelatihan kepada pekerja
Setelah prosedur pelaporan bahaya telah dibuat, perusahaan wajib mensosialisasikan dan memberi pelatihan kepada pekerja tentang langkah-langkah pelaporan bahaya di tempat kerja. Sosialisasi dan pelatihan ini dapat dilakukan saat safety talk di pagi hari sebelum memulai pekerjaan, rapat bulanan pengurus, dan pelatihan khusus.
5. Evaluasi prosedur pelaporan bahaya
Evaluasi ini dilaksanakan untuk mengukur efektivitas penerapan prosedur pelaporan bahaya di tempat kerja dan meninjau kembali tren potensi bahaya yang terjadi di tempat kerja. Dari hasil evaluasi ini, perusahaan dapat mengukur tingkat partisipasi pekerja untuk melaporkan bahaya. Evaluasi dapat dilakukan satu bulan sekali pada rapat manajemen K3.
* * *
Setiap perusahaan memiliki prosedur yang berbeda dalam menerapkan pelaporan bahaya di tempat kerja, namun yang pasti pelaporan bahaya ini berguna sebagai ‘early warning system’ agar kecelakaan kerja dapat diminimalkan.
Salam safety!