Sekitar 30 persen dari total 380 proyek infrastruktur menerapkan standar K3 dengan baik, sedangkan 70 persennya dapat dibilang hampir tidak memiliki program K3.
Kondisi pasca ambruknya launching girder proyek Double-Double Track (DDT) di Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu (4/2/2018)
Sumber: kompas.com
Masifnya pembangunan infrastruktur tidak hanya mendatangkan keuntungan, namun juga turut menghadirkan tantangan. Salah satunya potensi tingginya kecelakaan kerja. Dalam kurun waktu 7 bulan terakhir, sedikitnya 12 kecelakaan kerja terjadi di sektor konstruksi.
Kasus kecelakaan kerja yang baru-baru ini terjadi adalah jatuhnya launching girder saat pengerjaan proyek Double-Double Track (DDT) di Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu (4/2/2018). Empat pekerja tewas dalam kecelakaan kerja tersebut.
Launching girder proyek DDT kereta api di Jatinegara, Jakarta Timur ambruk saat petugas hendak menaikkan bantalan rel. Akibatnya, terdapat lima korban dalam kecelakaan tersebut, empat korban tewas dan satu korban dirawat di Rumah Sakit Hermina.
Polisi Polres Metro Jakarta Timur menyimpulkan insiden ambruknya alat berat tersebut karena kelalaian operator (human error) dan Standar Operasional Prosedur (SOP) tidak dijalankan dengan semestinya. Bantalan rel yang akan dipasang belum tepat pada posisinya, namun sudah dilepas dengan alat angkat. Dudukannya tidak pas sehingga bantalan rel jatuh menimpa pekerja. Namun demikian, polisi akan melakukan penyelidikan lebih mendalam terkait kejadian.
Sebetulnya, kecelakaan kerja di sektor konstruksi tidak hanya terjadi di proyek DDT saja, tapi juga terjadi di proyek infrastruktur lainnya. Dalam tujuh bulan terakhir, lebih dari 10 kasus kecelakaan kerja terjadi dalam proyek infrastruktur.
Ketua Umum Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi (A2K4), Lazuardi Nurdin mengungkapkan, tahun 2017 menjadi tahun dengan kecelakaan kerja konstruksi infrastruktur jalan dan jembatan terbanyak. Insiden ini tentu menjadi catatan bagi penyelenggara kegiatan konstruksi karena masih banyak proyek yang sedang dikerjakan dan ditambah proyek ini memang sedang masif dikerjakan oleh pemerintah.
Rentetan Kecelakaan Konstruksi, Refleksi Buruknya Implementasi K3?
Mengapa kecelakaan kerja di sektor konstruksi terus terjadi? Siapa yang bertanggung jawab atas hal ini? Benarkah kecelakaan kerja yang terjadi diakibatkan buruknya penerapan K3 di sektor konstruksi?
Seperti kita ketahui, sektor konstruksi merupakan industri yang berbahaya. Di Indonesia, sektor konstruksi menjadi penyumbang terbesar kecelakaan kerja, yakni sebesar 32 persen dibandingkan sektor transportasi, kehutanan dan pertambangan.
Dilansir tirto.id, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebutkan ada lima penyebab utama timbulnya kecelakaan kerja, di antaranya:
- Kelalaian manusia (human error). Pada 2017, baru sekitar 150 ribu tenaga ahli yang tersertifikasi di semua level, baik perencana, pengawas maupun pelaksana proyek. Idealnya, jumlah tenaga ahli ini sekitar 500 ribu-750 ribu orang.
- Mutu material konstruksi belum memenuhi standar
- Banyak peralatan konstruksi yang tidak tersertifikasi
- Metode pelaksanaan konstruksi di lapangan, terutama terkait program keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
- Efisiensi anggaran
Dari berbagai penyebab tersebut, penyebab kecelakaan kerja yang menjadi sorotan adalah mengenai metode pelaksanaan konstruksi di lapangan. Bagaimana sebenarnya sistem manajemen K3 konstruksi yang diterapkan di lapangan?
Kelancaran pelaksanaan proyek konstruksi di lapangan memang tidak selalu menitikberatkan pada program K3, namun rangkaian kegiatan proyek yang sedang dilaksanakan dapat berhasil jika program K3 dilaksanakan secara baik oleh semua pihak pelaksana proyek.
Program K3 merupakan segala kegiatan yang dirancang untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan pekerja akibat kerja pada pekerjaan konstruksi. Selanjutnya, program K3 ini akan masuk ke dalam sistem manajemen K3 (SMK3) dalam rangka pengendalian risiko K3 terhadap pekerjaan konstruksi.
Dalam hal ini kontraktor pelaksana proyek wajib menaati mekanisme yang telah di atur di dalam Peraturan Menteri PU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pedoman SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum yang mewajibkan penyelenggara pekerjaan konstruksi memenuhi syarat-syarat tentang keamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja pada tempat kegiatan konstruksi.
Namun ironi, K3 di sektor konstruksi tidak pernah menjadi isu yang krusial. Akibatnya, K3 menjadi sesuatu yang bukan menjadi indikator keberhasilan. Bila berbicara soal proyek, kebanyakan pekerja hanya fokus pada mutu, waktu dan biaya.
Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Syarif Burhanuddin, mengatakan maraknya kasus kecelakaan dalam proyek konstruksi ini sudah mengingatkan bahwa aspek K3 kurang mendapat perhatian dari kontraktor, padahal K3 ini merupakan aspek yang paling penting dalam penyelenggaraan konstruksi.
Penelitian yang dilakukan oleh Dosen Program Studi Teknik Sipil dari Universitas Hasanuddin Makassar, Rosmariani Arifuddin juga menunjukkan K3 masih dianggap bukan dari proses penyelenggaraan proyek konstruksi. Rosmariani menemukan hanya 30 persen dari total 380 proyek infrastruktur menerapkan standar K3 dengan baik, sementara 70 persen dapat dibilang hampir tidak ada program K3.
Ketua Umum A2K4, Lazuardi Nurdin juga mengungkapkan bahwa pelaksanaan dan pengawasan pada proyek konstruksi masih lemah. Menurutnya, kecelakaan yang terjadi saat ini berada dalam tahap pelaksanaan.
Sering kali juga ditemukan pekerja melakukan perilaku tidak aman saat pelaksanaan pembangunan proyek. Maka, para pekerja harus selalu diawasi agar proyek berjalan dengan baik. Kontraktor wajib memiliki program K3 dan pekerja harus mematuhi aturan K3, sehingga kecelakaan kerja bisa dihindari.
Sesuai Peraturan Menteri PU Nomor 5 Tahun 2014, kontraktor wajib menyertakan SMK3 ketika mengajukan penawaran. Ketika mereka memenangkan tender, maka SMK3 harus kembali dibuat perencanaan lebih detail dengan pejabat pembuat komitmen (PPK) guna menghindari kecelakaan kerja.
Penerapan Program K3 Konstruksi, Bagaimana Menurut Regulasi OSHA?
Untuk menghindari dan mengurangi kecelakaan kerja di bidang konstruksi, penerapan peraturan K3 perlu diutamakan. Setiap tenaga kerja di bidang konstruksi harus mendapatkan perlindungan terhadap berbagai masalah di lingkungan kerjanya yang berpotensi dapat mengganggu keselamatan dan kesehatan kerja.
Penerapan program K3 menjadi prioritas utama perlindungan tenaga kerja. Apa saja elemen penerapan program K3 konstruksi sesuai aturan OSHA?
1. Kepemimpinan Manajemen
- Manajemen puncak menunjukkan komitmennya untuk menghilangkan bahaya dan melakukan perbaikan berkelanjutan terkait K3 konstruksi, mengomunikasikan komitmen dan tanggung jawab program kepada pekerja.
- Manajer di semua tingkatan menjadikan K3 sebagai nilai utama organisasi, membangun K3 dengan tujuan atau sasaran yang jelas dan spesifik, menyediakan sumber daya yang terampil dan kompeten dalam implementasi program K3 dan memberikan contoh implementasi K3 yang baik kepada pekerja.
2. Partisipasi Pekerja
- Pekerja dan perwakilan dari pekerja dilibatkan dalam semua aspek program K3 − termasuk penentuan tujuan, identifikasi dan pelaporan bahaya, investigasi kecelakaan dan pemantauan program K3 konstruksi.
- Semua pekerja, termasuk kontraktor dan pekerja sementara memahami peran dan tanggung jawab mereka berdasarkan program K3 dan apa yang perlu mereka lakukan agar program K3 terlaksana secara efektif.
- Pekerja didorong untuk terlibat dan berkomunikasi secara terbuka dengan manajemen dan melaporkan setiap ada hal yang tidak normal terkait pelaksanaan program K3 atau memberikan saran untuk perbaikan program K3.
- Penanganan terhadap segala hal yang menghambat pekerja untuk berpartisipasi dalam program K3, seperti penggunaan bahasa, kurangnya informasi, dll.
3. Identifikasi dan Penilaian Bahaya
- Identifikasi bahaya bertujuan untuk mengetahui semua sumber bahaya dan aktivitas berisiko pada suatu kegiatan kerja atau proses kerja konstruksi.
- Mengidentifikasi dan menilai bahaya secara lengkap dari berbagai kegiatan rutin, nonrutin, dan kondisi darurat di area konstruksi.
- Mencatat faktor-faktor yang memengaruhi bahaya yang ada di area konstruksi secara rinci.
- Setiap insiden dilakukan penyelidikan untuk mengidentifikasi akar penyebabnya.
- Daftar bahaya yang sudah diidentifikasi selanjutnya digunakan untuk menentukan tindakan pencegahan dan pengendalian.
- Melakukan inspeksi bahaya dan pengendaliannya secara berkala serta melakukan penilaian ulang untuk mengidentifikasi bahaya baru.
4. Pencegahan dan Pengendalian Bahaya
- Manajemen dan pekerja bekerja sama untuk mengidentifikasi dan memilih metode yang tepat untuk menghilangkan, mencegah atau mengendalikan bahaya di tempat kerja
- Hierarki pengendalian bahaya digunakan untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya di tempat kerja, meliputi:
– Eliminasi, risiko dihindarkan dengan menghilangkan sumber bahaya
– Substitusi, mengganti bahan, alat atau cara kerja dengan yang lain sehingga kemungkinan kecelakaan dapat diminimalkan
– Pengendalian engineering, mengurangi risiko dengan melakukan rekayasa teknik pada alat, mesin, infrastruktur, lingkungan dan atau bangunan
– Pengendalian administratif, mengurangi kontak antara penerima dengan sumber bahaya. Contohnya: rotasi dan penempatan pekerja, perawatan secara berkala pada peralatan, dan monitoring efektivitas pengendalian yang sudah dilakukan
– Alat Pelindung Diri (APD), mengurangi risiko dengan menggunakan APD seperti helm keselamatan, masker, sepatu keselamatan, pakaian pelindung, kacamata keselamatan dan lain-lain. - Pemantauan dan tinjauan ulang terhadap pengendalian bahaya perlu dilakukan minimal setiap tiga bulan (tergantung kebijakan perusahaan) ) untuk mengetahui efektivitas dan berbagai perubahan yang dapat terjadi. Berbagai perubahan atau tindakan pengendalian yang kurang efektif kemudian akan ditinjau ulang untuk selanjutnya dilakukan perbaikan.
5. Pendidikan dan Pelatihan
- Semua pekerja diberikan pelatihan tentang semua hal yang terdapat di dalam program K3, bagaimana melaksanakannya dan apa saja tanggung jawab yang diberikan kepada mereka berdasarkan program K3.
- Manajer, supervisor, dan pengawas diberikan pelatihan tentang konsep keselamatan dan tanggung jawab mereka untuk melindungi pekerja dan merespons laporan dan masalah atau saran dari pekerja.
- Semua pekerja diberikan pelatihan untuk mengenali bahaya terkait pekerjaan konstruksi yang ada di tempat kerja dan bagaimana cara mengendalikannya.
6. Evaluasi dan Perbaikan Program
- Tindakan pengendalian ditinjau ulang secara berkala untuk mengetahui efektivitasnya.
- Evaluasi dilakukan untuk memantau kinerja program, melakukan verifikasi pelaksanaan program, dan mengidentifikasi kekurangan program dan peluang untuk perbaikan.
- Tindakan perbaikan berkelanjutan diperlukan untuk mengubah atau memperbaiki program K3 yang dinilai tidak efektif secara keseluruhan.
7. Komunikasi dan Koordinasi Pelaksana Proyek di Lapangan
- Kontraktor, subkontraktor dan pihak-pihak terkait penyelenggaraan proyek berkomitmen untuk menyediakan tingkat perlindungan K3 yang sama bagi seluruh pekerja dan mengikutsertakan pekerjanya dalam program perlindungan tenaga kerja selama kegiatan pekerjaan konstruksi
- Kontraktor, subkontraktor dan pihak-pihak terkait penyelenggaraan proyek mengomunikasikan bahaya yang ada di tempat kerja dan cara mengendalikannya
- Sebelum memulai pekerjaan, kontraktor/ pengawas yang ada di lapangan melakukan koordinasi pekerjaan, mulai dari perencanaan dan pelaksanaan, termasuk penjadwalan untuk melakukan identifikasi dan pengelolaan setiap masalah yang dapat berdampak pada keselamatan dan kesehatan para pekerja.
- Melakukan pengendalian risiko K3 konstruksi, termasuk inspeksi yang meliputi:
– Tempat kerja;
– Peralatan kerja;
– Cara kerja;
– Alat Pelindung Kerja;
– Alat Pelindung Diri (APD);
– Rambu-rambu.
Semoga Bermanfaat, Salam Safety!