Slogan “Utamakan Keselamatan” tentu pernah Anda temukan di setiap proyek pembangunan atau terpasang di pintu masuk sebuah pabrik. Sayangnya, pesan dari slogan tersebut tidak sejalan dengan tingginya jumlah kecelakaan kerja di Indonesia, terutama untuk pekerja usia muda.

Dilansir sindonews.com, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengungkap, berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan yang dihitung sejak Januari-Maret 2022, jumlah kecelakaan kerja tercatat sebanyak 61.805 kasus.

Menurut BPJS Kestenagakerjaan, mayoritas kecelakaan tersebut dialami di lokasi kerja dan didominasi oleh kelompok usia muda 20-25 tahun. Berdasarkan data ini dapat dilihat, sekalipun fisik lebih unggul, ternyata pekerja muda lebih rentan mengalami kecelakaan kerja.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Occupational Safety and Health Administration (OSHA) Amerika Serikat menyatakan bahwa beberapa faktor yang memengaruhi fenomena ini diantaranya karakter pekerja muda yang rentan mengalami stres, kurangnya pengawasan supervisor, pelatihan K3 yang tidak memadai, hingga pengoperasian peralatan kerja yang tidak aman. Di samping itu, minimnya pengalaman, keterampilan, dan pengetahuan juga merupakan faktor lain yang turut memengaruhi.

Baca juga artikel ini:

Maka dari itu, diperlukan upaya pendekatan dan promosi preventif terkait K3 yang lebih intens dan inovatif, terutama dalam sistem manajemen K3 (SMK3). Sistem manajemen SMK3 yang telah diterapkan juga perlu dilihat tingkat kematangan atau kedewasaannya agar tetap fokus pada tujuan awal penerapan SMK3 itu sendiri, yakni:

“Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dengan melibatkan unsur manajemen dan pekerja.”

Paradigma Perusahaan Terhadap K3 Pengaruhi Tingkat Kedewasaan Penerapan SMK3

Sistem manajemen K3 bisa dibilang akar dari implementasi K3 untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat serta melindungi pekerja dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja. SMK3 berisi pedoman pelaksanaan sistem manajemen K3 sesuai yang dipersyaratkan oleh PP Nomor 20 Tahun 2012 tentang penerapan SMK3.

Penerapan SMK3 di perusahaan biasanya dilatarbelakangi oleh beberapa hal, di antaranya:

  • Perusahaan menganggap K3 sebagai aspek penting untuk melindungi pekerja dan perusahaan dari kerugian
  • Kewajiban pemenuhan aturan/ standar bidang K3
  • Persyaratan usaha atau mendapatkan sertifikat audit. Perusahaan akan mendapatkan predikat baik apabila menerapkan SMK3 dan telah disertifikasi oleh Badan Audit Independen sehingga citra perusahaan dapat meningkat dan mudah untuk mengikuti tender.
  • Permintaan atau tuntutan dari pekerja karena sering terjadi kecelakaan kerja yang diakibatkan lemahnya komitmen manajemen puncak dalam melindungi keselamatan pekerja.

Penerapan SMK3 atas latar belakang tersebut, seperti penerapan hanya sebagai formalitas, untuk mengejar tender, atau mengejar sertifikasi hanya untuk kepentingan bisnis membuat hasil yang diharapkan dari penerapan SMK3 tidak sesuai dengan tujuan awal. Pada situasi ini juga kecelakaan kerja tidak bisa terhindarkan, sehingga tidak dilakukan tindakan perbaikan dan menyebabkan kecelakaan kerja sejenis terjadi berulang kali.

Ada beberapa hal yang membuat penerapan SMK3 tidak efektif:

  • Lemahnya komitmen dan keterlibatan manajemen dalam penerapan SMK3
  • Dokumen SMK3 yang dibuat secara tertulis tidak lengkap dan terperinci
  • Identifikasi bahaya dan penilaian risiko dibuat oleh konsultan, sementara manajemen dan pekerja tidak memahami kegiatan tersebut
  • Pengendalian bahaya tidak dilaksanakan secara serius
  • Pengendalian kecelakaan kerja hanya fokus pada penggunaan APD, tidak mencakup pemeriksaan dan pemeliharaannya
  • Manajemen tidak terbuka, kerap menutupi insiden yang terjadi di area kerja, bukan mencari akar permasalahan dan melakukan perbaikan berkelanjutan
  • Kurangnya pemantauan dan evaluasi tidak dilaksanakan secara rutin dan berkala.

Sistem manajemen K3 yang tidak efektif secara tidak langsung menunjukkan buruknya budaya K3 suatu perusahaan. Meskipun penerapan sistem manajemen K3 terlihat tidak ada masalah, implementasinya tetap akan sia-sia jika tidak didukung oleh budaya K3 itu sendiri. Cara pandang atau latar belakang perusahaan dalam menerapkan SMK3 juga akan memengaruhi tingkat kedewasaan pelaksanaan K3 di perusahaan.

Mengukur Tingkat Kedewasaan Penerapan SMK3 di Perusahaan, Sudah Tahap Manakah Perusahaan Anda?

Di Inggris, tahun 1995, tren kecelakaan kerja khususnya di industri pertambangan batubara sangatlah buruk, bahkan insiden serius terus meningkat. Pimpinan keselamatan kala itu berupaya memperbaiki kinerja K3 melalui pendekatan budaya K3.

Model budaya K3 mereka gunakan untuk menilai tingkat pemenuhan dan keefektifan implementasi K3 berbasis sistem manajemen, di Indonesia dikenal dengan Sistem Manajemen K3 (SMK3). Model yang dikembangkan menggabungkan Model Hudson, Anglo American, dan Mineral Industry Risk Management (MIRM) Maturity yang dinamakan UK Coal Journey Model.

Safety maturity model dengan UK Coal Journey Model menjelaskan tingkat kedewasaan penerapan K3 dibagi menjadi lima tahapan, yakni Vulnerable, Reactive, Compliant, Proactive, dan Resilient.

 

UK Coal Journey Model

Tingkatan di atas merupakan pengembangan antara sistem manajemen K3 dan budaya. Sistem disini berdasarkan integrasi UK Coal Management System dan penilaian budaya K3 Hudson Model dan Anglo Model.

UK Coal Management System

Bagaimana jika safety maturity model digunakan untuk mengukur tingkat kedewasaan penerapan SMK3 suatu perusahaan? Praktisi K3 di Indonesia mencoba melihat hubungan antara safety maturity model dengan elemen SMK3 yang terdapat dalam PP Nomor 50 Tahun 2012 untuk menilai tingkat kedewasaan penerapan SMK3 melalui tabel di bawah ini.

MATURITY LEVEL

Tahap 1 Vulnerable (Basic)
  • Sistem yang ada hanya sekadar dokumen belaka, bahkan perusahaan tidak memiliki sistem sama sekali
  • Implementasi SMK3 hanya dilakukan ketika ada audit atau inspeksi dari regulator
  • Budaya keselamatan yang apatis atau manajemen bersikap acuh tak acuh
  • Kelalaian terkait K3 banyak terjadi
  • Manajemen K3 menyembunyikan insiden yang terjadi
  • Mengabaikan kejadian near miss
  • Tidak ada pelatihan untuk pekerja
  • Komunikasi K3 yang buruk
  • Tidak ada identifikasi bahaya, penilaian risiko dan pengendaliannya
  • Investigasi kecelakaan yang buruk dan dangkal
  • Tidak ada audit
  • Tidak ada work permit untuk pekerjaan khusus
Tahap 2 Reactive
  • Sistem akan berjalan setelah terjadi masalah atau kecelakaan kerja sebelumnya
  • Fokus terhadap masalah atau kecelakaan kerja
  • Blame culture atau budaya saling menyalahkan
  •  Investigasi kecelakaan hanya fokus terhadap kesalahan manusia
  • Investigasi kecelakaan dengan analisis yang masih terbatas
  • Kejadian near miss mulai diperhatikan
  • Sudah ada pelatihan pekerja, namun tidak rutin
  • Komunikasi K3 mulai terbentuk
  • Kepatuhan terhadap aturan masih rendah
  • Identifikasi bahaya, penilaian risiko, dan pengendaliannya masih bersifat reaktif
  • Penerapan alat pelindung diri (APD) untuk mengurangi dampak paparan
  • Kebersihan kerja dan pemeriksaan kesehatan pekerja masih bersifat reaktif
  • Audit baru dilakukan jika ada masalah atau untuk tujuan tertentu saja.
Tahap 3 Compliant (Planned)
  • Pengembangan sistem sudah dijalankan tetapi fokus terbatas pada penurunan jumlah kecelakaan
  • Fokus penerapan SMK3 sebatas hal teknis dan pemenuhan peraturan
  • Kompetensi teknis K3 sudah mulai dipenuhi
  • Adanya keterlibatan pekerja dalam penerapan SMK3
  • Pelatihan diadakan berkala
  • Adanya diskusi pengendalian near miss
  • Komunikasi K3 semakin baik
  • Identifikasi bahaya, penilaian risiko, dan pengendaliannya berdasarkan sistem yang ada
  • Penggunaan APD sesuai potensi bahaya
  • Analisis kecelakaan kerja dengan mengidentifikasi faktor kausal dari kejadian kecelakaan
  • Pemeriksaan medis secara berkala
  • Perencanaan audit/ pengawasan
  • Pertemuan keselamatan mulai terbentuk
Tahap 4 Proactive
  •  Masing-masing bagian sudah memiliki target dan sasaran K3 dan menjadi poin utama dalam menyusun rencana kegiatan
  • Sistem yang dijalankan fokus pada perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
  • Fokus penerapan SMK3 sudah mulai melakukan pengendalian potensi bahaya
  • Budaya K3 mulai terbentuk
  • Keterlibatan penerapan K3 pada semua level manajemen
  • Pelatihan pekerja terencana dan bersifat rutin
  • Komunikasi lebih terbuka, tidak menyembunyikan insiden yang terjadi
  • Perbaikan sistem berkelanjutan
  • Penerapan SMK3 berdasarkan peraturan berlaku, misalnya PP No. 50 Tahun 2012
  •  Identifikasi bahaya, penilaian risiko, dan pengendaliannya bersifat proaktif
  • Kepatuhan terhadap peraturan pemerintah
  • Prosedur keselamatan untuk setiap kegiatan dirancang baik secara tertulis, mencakup APD dan alat kerja
  • Pelaksanaan audit terpadu
Tahap 5 Resilient
  • Semua pekerja dapat menjalankan sistem tanpa adanya turbulensi atau pelanggaran karena mereka menganggap bahwa sistem merupakan bagian dari keseharian dan K3 adalah kebutuhan, bukan kewajiban
  • Fokus program K3 sudah memiliki tujuan budaya K3 yang jelas serta menjaga perilaku aman di tempat kerja
  • Pemimpin memiliki safety leadership yang kuat
  •  Pekerja memiliki kompetensi K3 yang mumpuni
  • Program pelatihan rutin untuk pekerja
  • Keselamatan kerja selalu menjadi topik utama dalam agenda pertemuan
  • Identifikasi bahaya, penilaian risiko, dan pengendaliannya terintegrasi ke dalam semua sistem
  • Eliminasi bahaya sebelum kecelakaan terjadi
  • Sistem manajemen K3 terpadu
  • Evaluasi/ audit eksternal untuk perbaikan sistem dan mengukur efektivitas sistem yang telah berjalan
  •  Perusahaan memandang penerapan K3 sebagai investasi, bukan biaya

Itulah lima tahapan yang bisa Anda jadikan patokan atau alat untuk mengukur tingkat kedewasaan penerapan SMK3, sudah ada pada tahap manakah perusahaan Anda?

Salam safety!

×