Fakta: Kementrian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menyatakan bahwa angka kecelakaan kerja di tahun 2016 mengalami penurunan sebesar 8 persen dibandingkan 2015, dari 110.285 kasus menjadi 101.367 kasus. Namun angka pekerja yang meninggal akibat kecelakaan tersebut meningkat 349,4 persen pada periode yang sama, dari 530 orang menjadi 2.382 orang. (Sumber: liputan6.com, 12 Januari 2017) |
Berdasarkan data di atas, angka kecelakaan kerja menunjukkan penurunan tetapi mengapa angka kematian bisa meningkat pesat? Bukankah perusahaan sudah melakukan sertifikasi SMK3, tapi mengapa kecelakaan fatal masih tidak terhindarkan? Bagaimana mengukur tingkat kematangan penerapan K3 di perusahaan?
Dilansir liputan6.com, tingginya angka kematian di tahun 2016, 50 persennya berasal dari sektor yang mengandung potensi bahaya tinggi, salah satunya sektor konstruksi. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya kecelakaan tersebut antara lain alat pelindung diri yang tidak memadai, bahkan tidak tersedia di tempat kerja dan lemahnya pengawasan K3.
Baca juga artikel ini:
Mengapa perusahaan tidak menyediakan APD yang memadai dan mengapa pengawasan K3 masih lemah? Padahal kedua hal ini menjadi bagian yang penting dari SMK3 yang sudah seharusnya diterapkan perusahaan. Menjadi ironi ketika perusahaan yang telah lulus SMK3 namun kecelakaan kerja di lapangan masih tidak bisa terhindarkan.
Meski sebagian perusahaan sudah mendapatkan sertifikat SMK3, nyatanya tidak menjamin perusahaan tersebut melakukan perbaikan berkelanjutan (continual improvement) sehingga sistem yang dilaksanakan hanya sekadar memenuhi regulasi pemerintah atau tingkat pemenuhan konsumen saja. Akhirnya, sistem tersebut tidak lagi sesuai dengan tujuan awal penerapan SMK3 itu sendiri, yakni:
“Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dengan melibatkan unsur manajemen dan pekerja.”
Dari permasalahan tersebut, mungkin para profesional K3 mulai memikirkan bagaimana melihat kematangan atau kedewasaan dari suatu sistem manajemen K3 sehingga tetap fokus pada tujuan awal. Apakah mungkin budaya K3 di perusahaan tersebut belum terbentuk atau ada hal lain yang memengaruhi tingkat kedewasaan dari suatu sistem manajemen tersebut?
Paradigma Perusahaan Terhadap K3 Pengaruhi Tingkat Kedewasaan Penerapan SMK3
Sistem manajemen K3 bisa dibilang akar dari implementasi K3 untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat serta melindungi pekerja dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja. SMK3 berisi pedoman pelaksanaan sistem manajemen K3 sesuai yang dipersyaratkan oleh PP Nomor 20 Tahun 2012 tentang penerapan SMK3.
Penerapan SMK3 di perusahaan biasanya dilatarbelakangi oleh beberapa hal, di antaranya:
- Perusahaan menganggap K3 sebagai aspek penting untuk melindungi pekerja dan perusahaan dari kerugian
- Kewajiban pemenuhan aturan/ standar bidang K3
- Persyaratan usaha atau mendapatkan sertifikat audit. Perusahaan akan mendapatkan predikat baik apabila menerapkan SMK3 dan telah disertifikasi oleh Badan Audit Independen sehingga citra perusahaan dapat meningkat dan mudah untuk mengikuti tender.
- Permintaan atau tuntutan dari pekerja karena sering terjadi kecelakaan kerja yang diakibatkan lemahnya komitmen manajemen puncak dalam melindungi keselamatan pekerja.
Penerapan SMK3 atas latar belakang tersebut, seperti penerapan hanya sebagai formalitas, untuk mengejar tender, atau mengejar sertifikasi hanya untuk kepentingan bisnis membuat hasil yang diharapkan dari penerapan SMK3 tidak sesuai dengan tujuan awal. Pada situasi ini juga kecelakaan kerja tidak bisa terhindarkan, sehingga tidak dilakukan tindakan perbaikan dan menyebabkan kecelakaan kerja sejenis terjadi berulang kali.
Ada beberapa hal yang membuat penerapan SMK3 tidak efektif:
- Lemahnya komitmen dan keterlibatan manajemen dalam penerapan SMK3
- Dokumen SMK3 yang dibuat secara tertulis tidak lengkap dan terperinci
- Identifikasi bahaya dan penilaian risiko dibuat oleh konsultan, sementara manajemen dan pekerja tidak memahami kegiatan tersebut
- Pengendalian bahaya tidak dilaksanakan secara serius
- Pengendalian kecelakaan kerja hanya fokus pada penggunaan APD, tidak mencakup pemeriksaan dan pemeliharaannya
- Manajemen tidak terbuka, kerap menutupi insiden yang terjadi di area kerja, bukan mencari akar permasalahan dan melakukan perbaikan berkelanjutan
- Kurangnya pemantauan dan evaluasi tidak dilaksanakan secara rutin dan berkala.
Sistem manajemen K3 yang tidak efektif secara tidak langsung menunjukkan buruknya budaya K3 suatu perusahaan. Meskipun penerapan sistem manajemen K3 terlihat tidak ada masalah, implementasinya tetap akan sia-sia jika tidak didukung oleh budaya K3 itu sendiri. Cara pandang atau latar belakang perusahaan dalam menerapkan SMK3 juga akan memengaruhi tingkat kedewasaan pelaksanaan K3 di perusahaan.
Mengukur Tingkat Kedewasaan Penerapan SMK3 di Perusahaan, Sudah Tahap Manakah Perusahaan Anda?
Di Inggris, tahun 1995, tren kecelakaan kerja khususnya di industri pertambangan batubara sangatlah buruk, bahkan insiden serius terus meningkat. Pimpinan keselamatan kala itu berupaya memperbaiki kinerja K3 melalui pendekatan budaya K3.
Model budaya K3 mereka gunakan untuk menilai tingkat pemenuhan dan keefektifan implementasi K3 berbasis sistem manajemen, di Indonesia dikenal dengan Sistem Manajemen K3 (SMK3). Model yang dikembangkan menggabungkan Model Hudson, Anglo American, dan Mineral Industry Risk Management (MIRM) Maturity yang dinamakan UK Coal Journey Model.
Safety maturity model dengan UK Coal Journey Model menjelaskan tingkat kedewasaan penerapan K3 dibagi menjadi lima tahapan, yakni Vulnerable, Reactive, Compliant, Proactive, dan Resilient.
UK Coal Journey Model
Tingkatan di atas merupakan pengembangan antara sistem manajemen K3 dan budaya. Sistem disini berdasarkan integrasi UK Coal Management System dan penilaian budaya K3 Hudson Model dan Anglo Model.
UK Coal Management System
Bagaimana jika safety maturity model digunakan untuk mengukur tingkat kedewasaan penerapan SMK3 suatu perusahaan? Praktisi K3 di Indonesia mencoba melihat hubungan antara safety maturity model dengan elemen SMK3 yang terdapat dalam PP Nomor 50 Tahun 2012 untuk menilai tingkat kedewasaan penerapan SMK3 melalui tabel di bawah ini.
MATURITY LEVEL |
||
Tahap 1 |
Vulnerable (Basic) |
|
Tahap 2 |
Reactive |
|
Tahap 3 |
Compliant (Planned) |
|
Tahap 4 |
Proactive |
|
Tahap 5 |
Resilient |
|
Itulah lima tahapan yang bisa Anda jadikan patokan atau alat untuk mengukur tingkat kedewasaan penerapan SMK3, sudah ada pada tahap manakah perusahaan Anda?
Semoga Bermanfaat, Salam Safety!