Dia menggebrak meja kerjaku. Mengakibatkan berbagai barang di atasnya bergetar dan sedikit bergeser. Kunci-kunci yang ku simpan di samping kalender meja berdenting. Bolpoin aneka warna yang ada di dalam keranjang kecil berwarna hitam saling beradu. Air dalam gelas pun terlihat sedikit oleng dibuatnya.
Si penggebrak meja itu bernama Hendra Yatmo. Orang-orang memanggilnya Hendra, tapi tak sedikit pula yang memanggilnya Yatmo. Aku sendiri lebih senang memanggilnya pak Ogah—tapi cukup dalam hati saja. Dia adalah Supervisor Operasional andal di perusahaan ini.
Orangnya sangat ulet, gigih, antusias, berorientasi pada target, begitu mencintai pekerjaan, plus ambisius. Pokoknya, berbagai pekerjaan yang ditanganinya bakal berakhir dengan baik dan cepat. Tak heran jika atasan-atasan kami sangat menyukainya. Sosok karyawan idaman.
Kedua tangan Yatmo kini menempel di ujung meja. Kepalanya yang tidak begitu banyak ditumbuhi rambut—jika tidak dikatakan botak—menyembul dari balik layar komputer yang sedang aku tatap lekat-lekat. Memang mirip sekali dengan sosok pak Ogah dalam serial Si Unyil.
Dengan malas aku alihkan pandang padanya. Ya, aku memang sedang tidak tertarik meladeni siapa pun hari ini. Aku sedang sibuk menyusun laporan yang harus segera dikirim pada pihak manajemen. Maklum, rekanku sesama Safety Officer telah resign dua minggu yang lalu. Sedangkan pihak HRD belum menemukan orang yang tepat untuk menggantikan posisinya. Alhasil, berbagai hal terkait K3 beserta laporannya itu harus aku kerjakan tanpa bantuan.
“Kenapa kamu larang mereka pasang cladding dan roofing?” Yatmo memulai percakapan dengan berapi-api. Jika aku tidak pernah mengikuti latihan untuk menghadapi keadaan darurat, mungkin saat ini aku sudah panik bahkan sejak dia menggebrak mejaku tadi.
Aku sudah menduga kalau hal ini akan terjadi. Terlebih, kami memang sedang dikejar tenggat waktu. Semua pekerjaan harus diselesaikan secepat mungkin. Tidak boleh ada alasan apapun untuk menangguhkan pekerjaan. Semua harus beres. Segera.
Tapi, langit memberi isyarat lain. Seharian ini dia muram. Puncaknya, sekitar satu jam yang lalu, dia murka dan memuntahkan segala isi perutnya. Air hujan mengguyur area kerja kami. Bukan hujan biasa, tapi hujan angin disertai bongkahan es berukuran kecil. Suara petir beserta efek kilat pun menambah kengerian murka ini.
Sontak aku menyuruh pekerja menghentikan segala kegiatannya. Walau dikejar target, tapi tidak mungkin para pekerja itu dibiarkan bekerja sambil hujan-hujanan. Kalau mereka sakit, perusahaan juga yang nantinya akan rugi. Apalagi kalau sampai menimbulkan kecelakaan kerja, semua pihak akan menanggung jatah rugi yang tidak sedikit.
Setelah hujan reda, segera aku instruksikan para pekerja untuk kembali beraktivitas. Kecuali untuk pekerjaan di ketinggian. Aku melarang keras pekerjaan itu dilakukan. Setidaknya, untuk saat ini. Pasalnya, hujan tadi menyebabkan area kerja di ketinggian itu menjadi licin. Hal tersebut tentu saja sangat berbahaya bin berisiko menyebabkan kecelakaan kerja.
“Kondisinya licin, Mas. Sangat berbahaya,” jawabku pada si pak Ogah yang masih mematung dengan ekspresi wajah marah di balik layar komputer berukuran 22 inci itu.
“Kan mereka pakai APD. Juga harness,” timbal Yatmo.
“Iya, Mas. Tapi tetap saja berbahaya. Lebih baik kita jangan ambil risiko,” balasku.
Aku tahu dia sadar akan hal itu. Karena penjelasan semacam ini tentunya bukan hal yang baru didengarnya. Tapi, tuntutan dan tekanan tinggi dari tenggat waktu pekerjaan sepertinya membuat Yatmo kalap.
Aku? Ya, aku sendiri tentunya sama-sama terkena imbas tuntutan pekerjaan itu. Tapi, di sini aku bekerja sebagai Safety Officer. Tugasku tentunya bukan hanya menjamin semua pekerjaan selesai tepat waktu, tapi juga selesai dengan selamat; dengan nyawa pekerja yang masih menempel utuh pada raganya.
“Saya tidak mau tahu. Pokoknya pekerjaan itu harus segera dimulai lagi!”
Mendengar jawabannya, aku mulai ikut terbawa emosi. Aku pun bangkit dari kursi sambil merapikan kemeja.
“Baiklah kalau Mas Yatmo memaksa. Tapi, sebelumnya silakan buat dulu surat pernyataan yang menjamin bahwa Mas Yatmo lah yang nantinya akan bertanggung jawab jika mereka mengalami kecelakaan kerja”
Mendengar jawabanku, dia tampak kian berang.
“Saya akan laporkan hal ini pada pak Bambang!” jawabnya sambil berlalu meninggalkanku.
Hal tersebutbukan sebatas gertakan. Dia benar-benar melaporkannya pada Site Managerkami, pak Bambang. Hal ini aku ketahui karena beberapa saat kemudian, Site Managerkami itu menelepon untuk memintaku mendatanginya.
“Kenapa pekerjaan di atap itu tidak kamu kasih izin?” selidik pak Bambang dengan gegas.
“Lho, memangnya mas Yatmo tidak menjelaskannya, Pak?”
“Dia bilangkamu tidak menjelaskan apa-apa. Kamu malah langsung mengancamnya,” terang pak Bambang.
Aku tidak bisa menahan diri lagi. Benar-benar mangkel. Sambil gemetar menahan marah bercampur dongkol, aku menjelaskan semuanya pada pak Bambang. Di akhir kalimat, aku tekankan padanya bahwa apapun yang terjadi, keselamatan harus selalu diutamakan.
Selesai aku bicara, pak Bambang hanya terdiam sambil mengetuk-ngetukan telunjuk pada meja kerjanya. Bunyi “tuk-tuk-tuk” ujung kuku saat menimpa permukaan kayu itu pun mengisi ceruk keheningan yang makin menganga di antara kami berdua.
“Ya, seharusnya memang begitu” ucap pak Bambang kemudian.
Semoga Menginspirasi. Salam Safety!