Bercandalah pada Tempatnya

Dalam kadar tertentu, bercanda di tempat kerja memang baik untuk kesehatan mental karyawan. Namun, jika dilakukan secara berlebihan dan tidak pada tempatnya, bercanda bisa berakhir jadi bencana.

Seperti yang pernah terjadi pada rekan kerjaku dulu, sebut saja namanya Uus. Uus adalah orang yang senang bercanda dan memiliki selera humor yang baik. Kehadirannya di kantor ibarat es kelapa muda di tengah panas matahari: sangat menyegarkan. Walau leluconnya kadang receh, tapi tetap saja bisa membuat kami tertawa geli.

Selain humoris, Uus juga termasuk orang yang sangat aktif. Dialah orang yang selalu menginisiasi berbagai acara atau kegiatan kantor yang membuat kami menjadi tidak jenuh walau seharian berkutat di depan komputer.

Pernah suatu ketika, Uus mengajak teman-teman untuk main balapan dengan menggunakan kursi. Kebetulan kursi kerja kami memang beroda. Jadi, mudah didorong atau ditarik ke sana kemari.

Karena hanya ada empat orang saja yang mau berpartisipasi, termasuk dirinya sendiri, maka Uus membagi kelompok menjadi dua. Setiap orang dalam kelompok itu kemudian berbagi tugas: satu orang jadi pendorong kursi, yang lainnya jadi penumpang yang kewajibannya hanya duduk manis sambil pegangan pada lengan kursi agar tidak terjatuh.

Walau keceriaan itu tidak berlangsung lama karena si bos keburu datang, tapi kekonyolan Uus dan tiga orang lainnya itu sukses membuat kami terpingkal-pingkal. Suasana kantor yang asalnya kaku karena sibuk dengan urusan masing-masing itu langsung berubah seketika. Penat berkurang. Otak rasanya kembali jalan.

Di sisi lain, Uus yang ceria dan jenaka ini juga sering kali membikin orang kesal akibat ulah jahilnya.

Aku masih ingat betul, waktu itu aku, Mas Riri, dan Mbak Kania sedang membahas sebuah proyek. Karena hanya perlu koordinasi sedikit, kami pun tidak berbincang di ruang meeting. Kami berunding di meja kerja Mbak Kania dengan membawa kursi masing-masing.

Saat kami sedang serius berdiskusi, tiba-tiba saja Uus melemparkan mainan serupa ular. Warna, bentuk, dan teksturnya mirip sekali dengan ular betulan. Kami terkejut bukan main, terutama Mbak Kania yang terkena langsung lemparan ular mainan tersebut.

Saking terkejutnya, Mbak Kania sampai terjatuh bersama tempat duduknya. Kepalanya membentur lantai. Siku sebelah kanannya juga terbanting dengan keras karena mencoba menahan beban tubuh saat jatuh.

Walau kepalanya terbilang baik-baik saja, tapi siku Mbak Kania mengalami cedera serius hingga harus mendapat perawatan medis. Dia pun tidak masuk kerja hingga lima hari lamanya. Padahal, aku dan Mas Risi sangat membutuhkannya untuk menyelesaikan proyek kami yang sedang berjalan.  

Insiden ini ternyata sampai juga ke telinga si bos. Dia memang orang yang cukup kalem. Dia tidak pernah marah sekalipun kami sering mengisi sebagian waktu kerja untuk bercanda. Namun, karena bercanda kali ini menyebabkan orang lain cedera, si bos langsung marah hingga menegur Uus dengan keras.

“Bercanda boleh saja, tapi jangan kelewatan dong, Us!” ujarnya dengan nada tinggi. Uus lesu. Kami ikut membisu.

Pasca peristiwa itu, kami semua kehilangan sosok Uus yang dulu. Dia tidak lagi jahil, tidak lagi aktif, bahkan tidak lagi melontarkan lelucon-lelucon garing di sela-sela jam kerja. Padahal, kejadian itu sudah berlalu hampir sebulan lamanya. Kantor pun berubah jadi sepi seperti rumah yang ditinggal pergi penghuninya.

Untuk mencairkan kembali suasana, Mbak Kania berinisiatif untuk mengadakan acara nonton dan makan bersama di luar kantor. Memang, marah dan kesal usai dijahili Uus tempo hari masih dirasanya. Tapi, jika timnya jadi seperti ini gara-gara peristiwa itu, dia merasa tidak rela.

Dalam salah satu sesi acara, kami semua mengutarakan ketidaknyamanan soal situasi kantor belakangan. Uus, biang keladi dari masalah ini, pun dengan lantang meminta maaf. Bukan hanya pada Mbak Kania, tapi pada kami semua. Mbak Kania tentu saja menyambut baik permintaan maaf Uus.

Si bos, yang saat itu turut diundang, juga buka suara. “Waktu itu, saya merasa kamu memang keterlaluan, Us. Jadi, saya ngasih peringatan saja supaya kamu tidak melakukan hal serupa,” ujarnya sembari menepuk bahu Uus.

Rasa ketidaknyamanan yang berbentuk serupa balok-balok es super tebal itu pun perlahan mencair. Uus kembali menaiki panggungnya. Dia mulai pecicilan dan berseloroh lagi, melontarkan lelucon-lelucon menggelikan. Kejahilan-kejahilan kecil pun sudah mulai dia lakukan lagi. Bedanya, Uus tidak lagi melakukan kejahilan yang mengancam keselamatan nyawa orang lain. Mungkin sudah kapok.

Saat tiba waktu pulang, Uus kembali melakukan kejahilan kecil dengan menyembunyikan sebuah kunci kendaraan yang tergeletak di salah satu ujung sofa. Dia menyimpan kunci tersebut dalam saku celananya. Pikir Uus,  kunci itu adalah milikku.

Sesampainya di tempat parkir, dia terlihat bingung karena aku menumpang mobil Mas Riri. Teman-teman lain pun terlihat santai menuju kendaraannya masing-masing karena memang tidak ada yang merasa kehilangan kunci.

“Lho, si bos ke mana?” tanya Uus pada kami semua saat menyadari orang yang dimaksud tidak berada di area parkir.

“Lagi cari kunci mobil. Kayaknya dia lupa nyimpen,” balas Mbak Kania. Uus langsung pucat seolah darahnya terisap barisan kata yang dikeluarkan Mbak Kania.

Dua hari setelah kejadian itu, Uus tidak masuk kerja. Pun hari-hari berikutnya. Bahkan, hingga saat ini.

Semoga Menginspirasi, Salam Safety!

×