Berseteru dengan Anak Baru

Hari Senin itu, tim Salim kedatangan karyawan baru. Agak mengherankan memang, mengingat tim produksi itu sebenarnya sudah kecukupan pekerja. Apalagi, pabrik pengolahan kue tempat Salim bekerja ini bukan pabrik besar. Penambahan personel jadi terkesan berlebihan atau dipaksakan.

“Saya Haidar,” ucap karyawan baru itu saat memperkenalkan diri. Rambutnya yang gondrong sesekali disisiri dengan jari-jari tangan.

“Bro, rambutmu harus dirapikan, tuh! Di sini kita tidak boleh gondrong,” ucap Salim setelah saling berkenalan dan memberikan APD berupa hairnet, masker, sarung tangan, dan celemek pada si anak baru. Haidar menanggapinya dengan senyum. Dikira itu hanya sebuah lelucon.

“Oh ya, jangan lupa selalu cuci tangan pakai sabun setiap kali akan menangani produk atau sehabis beraktivitas dari luar. Terutama setelah dari toilet,” ujar Salim memberi sedikit wejangan. 

“Dan yang paling utama, cuci tanganlah dengan cara yang benar,” imbuhnya. Haidar mengangguk.

Hari pertama bekerja ternyata tidak dilewati Haidar dengan baik. Pada hari yang harusnya bertabur kesan positif itu, Haidar justru membuat Salim dan yang lain geleng-geleng kepala. Pasalnya, Haidar bersin dan buang ingus ketika sedang bekerja. Salim yang paling senior di antara semua lantas menjelaskan bahwa hal semacam itu tidak boleh dilakukan, apalagi saat menangani produk berupa makanan.

“Nanti makanan bisa terkontaminasi, Bro” ucap Salim sambil menepuk bahu Haidar.

Haidar meminta maaf sekaligus membela diri dengan memberi penjelasan bahwa beberapa hari yang lalu dirinya terserang flu. Jadi, ingus masih sering keluar dan bersin juga kadang masih terjadi.

“Kalau begitu, harusnya kamu belum bisa masuk kerja, Bro.”

“Lho, memangnya kenapa?”

“Produk makanan itu sangat rentan. Jadi, orang yang sedang sakit atau masih dalam tahap penyembuhan harusnya tidak boleh bekerja menangani makanan.”

“Tapi Pak Rusli ga ngasih tahu soal itu, Bro,” tukas Haidar. Salim hanya terdiam. Jika manajernya saja tidak mempermasalahkan, dirinya bisa apa?

Hari berikutnya, Haidar kembali berulah. Kali ini, di area produksi kue kering itu dia terlihat mengupil dan mengorek-ngorek lubang telinga dengan santainya. Setelah selesai, dia bahkan langsung memegang kue tanpa cuci tangan terlebih dahulu pun mengenakan kembali sarung tangan.

Lagi-lagi, Salim maju untuk memberi penjelasan sekaligus teguran. Berbeda dengan kemarin, kali ini Haidar tidak menerima teguran Salim. Baginya, ditegur karena persoalan mengupil terasa sangat berlebihan bahkan cenderung mengada-ada. Alhasil, ketegangan sempat terjadi di antara mereka. Untungnya, Salim masih mampu menahan diri. 

Selang beberapa hari dari kejadian itu, Haidar kembali melakukan hal yang tidak patut dilakukan seorang food handler. Saat itu dia kedapatan meludah. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Sontak rekan-rekan kerja yang baru dijumpainya kurang dari seminggu itu meradang.

Mau tidak mau Salim akhirnya maju lagi untuk memberi tahu bahwa hal itu juga termasuk ke dalam hal yang tidak boleh dilakukan karyawan saat menangani makanan. Tidak diduga, Haidar naik pitam.

“Kalau ngasih tahu itu yang jelas dong, Bro,” ucapnya. “Kalau mau ngasih tahu, ya kasih tahu semua aturannya. Jangan tanggung-tanggung! Biar orang ga bingung,” imbuhnya disertai napas yang naik turun.

“Lagi pula, mana peraturannya? Dari hari pertama masuk sini, aku tidak pernah melihat peraturan tertulisnya. Dalam bentuk apa pun!” imbuhnya dengan nada semakin meninggi.

“Pak Rusli juga tidak pernah ngasih tahu apa pun soal peraturan konyol kalian,” tambahnya lagi seakan masih kurang puas.

Salim sama-sama emosi, tapi dia tidak ingin hal ini berakhir ricuh. Agar masalahnya selesai, Salim memilih untuk mendatangi Rusli, manajer yang jarang terlihat batang hidungnya itu. Dengan berapi-api, Salim menceritakan semua kejadian dari awal Haidar masuk hingga hari ini.

“Lagian itu anak kenapa tidak dikasih training sih, Pak?” sergahnya.

“Belum,” jawab Rusli singkat.

“Poster peraturan masuk area produksi juga memangnya ke mana, Pak? Kan dia jadi tidak bisa baca semua peraturan yang kita terapkan di sini. Jadinya malah saya yang harus cape-cape menjelaskan,” imbuhnya.

Sejak dua bulan terakhir, safety poster dan beberapa safety sign di area kerja itu memang raib. Kabarnya, media-media K3 itu sudah rusak. Jadi, mereka diturunkan untuk diganti dengan yang baru. Hanya saja, hingga detik ini belum ada satu pun penggantinya.

“Memangnya siapa yang suruh kamu menjelaskan?” celetuk Rusli kemudian. “Kalau kamu tidak mau, ya jangan memaksakan diri. Toh saya tidak menyuruh,” imbuhnya.

Salim hanya bisa membuang muka. Alih-alih menyelesaikan masalah, Rusli ternyata hanya membikin emosi Salim kian meninggi.

Hari-hari selanjutnya, Haidar yang masih tetap gondrong dan bahkan membiarkan sedikit demi sedikit jenggotnya melebat itu tetap melakukan ulah yang sama. Dengan jari-jari tangan yang kukunya dibiarkan panjang itu, Haidar bahkan sempat mengapit rokok, menyalakan, dan menghisapnya sambil bekerja.

Walau dirasa fatal, Salim tidak menegur Haidar. Namun, dia diam-diam mengambil ponsel dan mengabadikan momen itu dengan beberapa jepretan kamera. Hasilnya dibawa Salim pada sang manajer.

“Dia sudah keterlaluan, Pak,” ucap Salim sambil menunjukkan foto dalam layar smartphone miliknya.

“Baik, Salim. Nanti akan saya tegur dia,” ucap Rusli setelah sekilas melihat foto yang disodorkan Salim.

Tidak puas dengan respons Rusli, Salim lantas merangsek sang manajer untuk melakukan hal yang lebih nyata dari sekadar menegur. Karena bagi Salim, teguran saja tidak cukup untuk mengganjar seorang karyawan yang sering membangkang dan tidak bisa menjaga sikap semacam Haidar.

“Pecat saja dia, Pak,” ujar Salim kemudian. “Lagi pula kita sudah kelebihan orang,” tambahnya.

“Saya tidak bisa melakukannya. Dia adik ipar saya,” tandas Rusli.

Semoga Menginspirasi, Salam Safety!

 

 

 

×