Hemat Energi untuk Bumi yang Lebih Baik
“Menurut riset, gedung perkantoran termasuk salah satu pengonsumsi listrik terbesar,” ujar Pak Roi memulai pembicaraan di ruang meeting yang penuh sesak. “Dengan mengurangi konsumsi listrik sedikit saja, kita akan bisa menghemat energi sampai 20 persenan.”
Aku tidak tahu apakah data yang disampaikannya teruji atau tidak. Yang jelas, pemaparannya terdengar cukup ilmiah sampai-sampai semua karyawan yang mendengarkan—termasuk aku—tidak sanggup memberikan respons lain kecuali manggut-manggut tanda setuju.
“Agar konsumsi listrik ini berkurang, kita harus melakukan berbagai perubahan. Dari hal yang kecil-kecil saja dulu. Misalnya, dari cara penggunaan AC,” tuturnya dengan karismatik.
Dalam pemaparannya mengenai penggunaan AC ini, atasan kami tersebut mengingatkan agar AC harus dimatikan saat tidak digunakan. Misalnya, saat semua karyawan hendak pulang atau jika ruang kerja kosong karena karyawan sedang meeting di ruangan lain.
Untuk menghemat energi listrik ini, kami pun tidak diperkenankan menggunakan AC terlalu dini. AC hanya boleh dinyalakan mulai dari jam 09.00 pagi dengan suhu 23-250 saja. Sebagai gantinya, untuk mendinginkan ruangan di pagi hari, kami disarankan untuk menggunakan pendingin alami. Caranya, tentu saja dengan membuka jendela.
“Lah, terus nasibku piye? Di ruanganku kan tidak ada jendela sama sekali,” bisik Toto yang duduk di sebelah kiriku.
Seolah mendengar kegelisahan Toto, Pak Roi menambahkan bahwa jadwal menyalakan AC itu berlaku untuk ruangan yang memiliki jendela saja. Sedangkan ruangan lain yang jendelanya tidak bisa dibuka atau bahkan tidak memiliki jendela sama sekali, tetap boleh menyalakan AC sedari pagi.
“Nah, sudah terjawab, To,” giliranku berbisik pada Toto. Dia tersenyum sambil mengacungkan jempol kanannya. “Pak Roi kan visioner. Jadi ga mungkin ga memikirkannya, To,” tambahku.
Pembahasan berlanjut ke ranah lain. Setelah AC, kini Pak Roi mulai menyasar soal penggunaan lampu, komputer, monitor, sampai printer dan mesin fotokopinya.
“Tolonglah ya, sebelum pulang itu, pastikan semua sakelar berada di posisi off. Jangan sampai kejadian kemarin-kemarin terulang lagi!”
Rupanya Pak Roi masih ingat kejadian pada libur lebaran tempo hari. Saat itu, entah bagaimana ceritanya, tak ada satu pun dari kami yang mematikan lampu gedung kantor. Alhasil, hampir semua lampu ruang kerja menyala selama satu minggu penuh.
“Untuk lampu di ruangan yang tidak perlu pencahayaan terus-menerus, misal lampu di gudang atau lampu di toilet, tolong matikan juga setelah selesai digunakan,” tambahnya.
Sementara untuk penggunaan komputer, Pak Roi menegaskan bahwa komputer yang sudah tidak digunakan harus dimatikan, bukan hanya disetel dalam mode sleep saja. Komputer harus benar-benar mati dengan steker tercabut dari stop kontaknya. Karena dalam mode sleep, komputer akan tetap mengonsumsi listrik.
Begitu juga dengan monitor. Kalau sedang tidak dipakai, seperti pas jam istirahat, akan lebih baik jika dimatikan saja. “Hemat energi!” katanya.
“Halah! Bilang saja biar hemat bayar listrik,” bisik Kinay yang sedari tadi duduk di sebelah kananku.
“Huussh! Anggap saja bantu bumi, sambil sekalian bantu perusahaan, Nay,” jawabku.
“Lebih membantu lagi kalau uang hasil penghematan bayar listriknya dibagikan sama kita sebagai bonus,” tambahnya sambil cekikikan.
“Iya juga,” sambutku disertai tawa kecil.
“Lagian kalau mau hemat listrik, harusnya semua komputer itu diganti sama laptop. Kan dayanya sangat jauh lebih kecil,” ujar Kinay lagi. Aku mengangguk takzim, menyetujui perkataan Kinay.
“Ya, aku sih ga keberatan ya dengan ajakan hemat listrik ini. Asalkan, Pak Roi juga melakukan hal yang sama. Jangan sampai cuman memerintah kita saja,” tambah Kinay.
“Aku sih percaya Pak Roi bisa ngasih contoh yang baik buat kita. Selama ini kan kepemimpinannya cukup bagus,” sahutku.
“Kamu terlalu kagum sama dia sih. Padahal, dia itu kan cuman bisa ngo…”
“EHMMM!”
Pak Roi berdehem kencang. Kami terperanjat. Tapi dengan tenang, Pak Roi kembali melanjutkan pembicaraannya. Aku dan Kinay pun langsung menghentikan obrolan dan mendengarkan Pak Roi lagi dengan seksama.
“Saya sering menemukan printer kita dalam keadaan menyala, padahal sedang tidak digunakan. Nah, kebiasaan ini juga harus kita perbaiki,” ujarnya.
Printer yang di dalamnya terdapat mesin fotokopi itu hanya boleh dinyalakan ketika memang akan digunakan saja. Selebihnya, kami harus dengan tertib mematikannya. Bahkan, sebaiknya kami mulai membiasakan untuk tidak terlalu banyak mencetak dokumen. Katanya, semua data lebih baik dibuat atau dibagikan dalam bentuk soft file saja. Kalau pun terpaksa harus tetap dicetak, cetaklah bolak-balik dalam satu kertas.
“Mari hemat energi! Untuk bumi yang lebih baik,” tutupnya dengan memberi penekanan pada kalimat terakhir yang diiringi senyum dan sedikit anggukan. Mirip motivator-motivator di TV atau berbagai seminar.
Briefing pagi itu pun diakhiri dengan terjalinnya kesepakatan yang baik antara Pak Roi dan seluruh karyawan. Bagi kami, niat baik yang disampaikan dengan cara baik haruslah disambut dengan baik pula. Terlebih, kami pun tidak merasa kesulitan melakukan semua keinginan Pak Roi. Hanya perlu pembiasaan saja.
“Aku kira bakal membahas soal hemat energi lainnya. Ternyata cuma masalah listrik aja,” ujar Kinay ketika kami kembali ke ruang kerja.
“Memangnya kenapa, Nay?” tanyaku.
“Gini lho, Bro. Berkali-kali, aku membetulkan keran bekas pakai Pak Roi karena ga tertutup dengan baik. Awalnya ya, aku kira itu ga sengaja aja. Tapi karena sering, lama-lama aku curiga kalau dia memang ga punya kesadaran soal konservasi air. Atau bahkan, memang tidak peduli sama sekali. Padahal, air juga kan sumber energi yang harus dijaga keberlangsungannya. Jangan dibiarkan terbuang percuma,” ujarnya dengan panjang lebar.
“UNTUK BUMI YANG LEBIH BAIK!” tambahnya disertai tawa mengejek.
Tembok kekagumanku pada Pak Roi perlahan rompal.
Semoga menginspirasi, Salam safety!