Kehilangan Terbesar

Saat kejadian itu memisahkan kami dan Mas Tri untuk selamanya, Ufi masih sangat kecil. Kalau tidak salah, dia baru saja masuk Taman Kanak-Kanak. Usianya tidak akan lebih dari lima tahunan.

Pada malam kejadian, Ufi terus-terusan bertanya padaku kenapa ayahnya masih belum juga pulang. Padahal, hari jelas sudah larut. Aku tidak bisa memberi penjelasan yang cukup karena aku pun tidak tahu. Nomor telepon Mas Tri tidak bisa dihubungi, begitu juga dengan nomor teman yang satu pekerjaan dengannya.

Menjelang pukul 8 malam, barulah ada kabar. Kabar yang hingga kini masih membuatku terguncang kalau mengingatnya. “Triyadi kecelakaan,” begitu kata orang di seberang telepon sana. Aku tidak mampu berpikir apa-apa. Yang aku rasa, aku hanya ingin tidak percaya dan menyangkal berita itu. Badanku kemudian mendadak lemas tapi juga bergetar hebat. Tangisku pun akhirnya pecah dalam pelukan Ufi.

Saat jenazah tiba di rumah kami, barulah saat itu aku benar-benar percaya kalau Mas Tri memang mengalami kecelakaan kerja. Dari seseorang yang merupakan perwakilan perusahaan tempat Mas Tri bekerja, kemudian aku tahu kenapa kejadian nahas ini menimpanya.

Seturut penjelasannya, Mas Tri saat itu sedang melakukan pekerjaan pengelasan. Dia dan dua orang rekan kerjanya yang lain mendapat tugas untuk menyambungkan pipa gas antar tangki pengolahan minyak bumi. Saat bekerja di antara tangki-tangki yang berukuran besar tersebutlah, kejadian mengerikan itu terjadi.

Saat itu, di area kerja terdapat tiga buah tangki pengolahan minyak yang katanya sedang dalam keadaan kosong. Sebut saja tangki nomor 1, 2, dan 3. Tangki nomor 3 adalah tangki baru yang pipa gasnya hendak disambung pada ujung pipa gas di tangki nomor 2. Untuk menyambungkan pipa gas ini diperlukan proses pengelasan yang kebetulan dibebankan pada Mas Tri dan dua rekannya.

Sebelum mulai mengelas, salah seorang rekan kerjanya menguji kandungan gas yang mungkin masih tersimpan di dalam tangki nomor 2. Proses pendeteksian gas ini dilakukan dengan menggunakan obor las. Ya, obor las. Proses pengecekan yang tidak sesuai prosedur, tentunya.

Ga ada kilatan api nih, berarti aman! Pikir si rekan kerja saat memasukkan obor las yang menyala ke  dalam area masuk tangki.

“Aman, Bro!” teriaknya pada Mas Tri sambil mengacungkan jempol kanan.

Tidak diduga, saat itu dalam tangki nomor 1 yang tidak dicek sama sekali, ternyata masih terdapat minyak mentah. Ketika terkena sinar matahari yang semakin panas, minyak mentah di dalam tangki itu menguap dan menghasilkan gas mudah terbakar. Dengan segera, gas mudah terbakar itu menjalar ke tangki nomor 2 melalui pipa gas yang sudah tersambung.

Beberapa waktu kemudian, gas itu memenuhi tangki nomor 2 hingga keluar menuju ujung pipa yang sedang coba disambungkan oleh Mas Tri. Saat benar-benar keluar, gas yang tergolong flammable itu lantas bertemu dengan percikan api yang berhamburan dari proses pengelasan. Api kemudian timbul dan langsung memburu tangki nomor 2 yang berisi gas. Ledakan pun tidak terelakan. Mas Tri dan dua rekannya tewas seketika.

Aku sangat mengutuk kecerobohan rekan kerja Mas Tri. Namun, dari hasil investigasi kecelakaan yang diceritakan si perwakilan perusahaan, Mas Tri dan rekan kerjanya ternyata saat itu tidak mendapat pelatihan cara kerja aman melakukan hot work dari kontraktor yang menaunginya. Sehingga mereka pun bertindak ceroboh yang mengakibatkan kehilangan teramat besar, yaitu nyawa.

Aku akhirnya tidak tahu harus menyalahkan apa atau siapa. Yang aku sadari, hal apapun yang aku lakukan, entah itu diam atau menyalahkan, semua itu tidak akan mengembalikan Mas Tri. Dia jelas sudah tiada. Tidak akan pernah kembali lagi.

Kini, Ufi sudah masuk SMA. Dia tumbuh menjadi anak yang pintar, baik, juga menarik. Gaya bicaranya, sikapnya, hingga gerak-geriknya persis seperti Mas Tri. Tapi, dari semuanya, yang paling mengingatkanku akan sosok ayah dari anak itu adalah lesung pipinya. Sangat manis. Apalagi kalau dia sedang tersenyum.  Seandainya Mas Tri bisa melihatnya. Seandainya.

Semoga menginspirasi, Salam Safety!

 

 

 

 

 

×