Keselamatan Kerja Adalah Perkara Bersama
“Sir, nanti kamu kerjain dulu kerjaannya si Dafi, ya!”
“Kerjaan apa, Pak?”
“Mindahin barang doang. Yang dari ujung sini dipindahkan ke sana. Dan barang lain dari ujung sana, nanti pindahkan ke sini.”
“Saya angkat sendiri, Pak?”
“Ya enggak, lah. Barang yang harus dipindahkan itu kan beratnya ratusan kilogram.”
“Oh. Jadi bagaimana, Pak?”
“Ya, pakai alat, dong!” jawabnya. “Yang itu, tuh!” telunjuknya menuding sebuah alat angkat-angkut bernama crane jenis monorel.
“Ada petunjuk penggunaannya, Pak? Soalnya saya belum pernah menggunakannya.”
“Halah! Ga perlu petunjuk. Barangnya cuma perlu dikaitkan, terus dorong ke tempat tujuan. Beres!”
Dafi, orang yang dimaksud atasan Natsir itu, ternyata hari ini tidak masuk kerja karena sedang cuti. Dan, pekerjaan yang diberikan pada Natsir tersebut termasuk salah satu pekerjaan rutin Dafi. Kalau Dafi tidak masuk, karyawan lain harus menggantikan pekerjaannya. Sialnya, Natsir lah yang hari ini dipilih untuk menggantikan Dafi.
Merasa masih ragu dengan pekerjaan yang harus dilakukannya, Natsir mencoba bertanya pada rekan kerjanya. Sayang, di antara mereka tidak ada satu pun yang bisa memberi jawaban. Pasalnya, pekerjaan itu selama ini hanya dipegang oleh Dafi. Yang lain pun belum pernah melakukannya.
“Si Rosyid pernah sih mengerjakan pekerjaan itu, tapi hari ini kayaknya dia juga ga masuk kerja,” jawab salah seorang rekan kerja Natsir.
“Kenapa tadi kamu tidak tanya dulu sama pak Wiguna?”
“Sudah, Bro. Katanya sih cara kerjanya gampang. Cukup kait dan dorong saja. Tapi karena aku baru pertama kali melakukannya, aku rada bingung juga.”
“Kenapa kamu tidak menolak saja?”
“Ya, mana berani lah aku menolak perintah supervisor, Bro,” jawab Natsir sambil mengangkat bahu.
“Ya sudah. Mungkin cara kerjanya memang begitu. Selama ini, aku lihat si Dafi pun cara kerjanya sama. Jadi, sepertinya memang tidak ada hal lain yang perlu dilakukan,” ucap si rekan kerja. “Termasuk inspeksi,” imbuhnya.
Akhirnya, tanpa pelatihan dan tanpa tahu prosedur keselamatan penggunaan crane monorel itu terlebih dahulu, Natsir memantapkan diri untuk segera memulai pekerjaan yang diperintahkan pak Wiguna.
Saat menilik alat angkat-angkut tersebut, Natsir menyimpulkan bahwa cara kerja crane monorel itu memang akan sangat mudah. Tidak ada tombol macam-macam, tuas, kabel, atau apa pun yang sekiranya bakal membingungkan. Persis seperti yang Pak Wiguna bilang: Natsir hanya perlu mengaitkan barang pada bagian hook atau kail, dorong ke tempat tujuan, lepas saat sudah sampai di tempat tujuan, dan… voila! Pekerjaan pun akan beres seketika.
“Wah, ternyata memang gampang, Bro!” teriak Natsir pada rekan kerjanya sambil mendorong barang yang sudah tergantung di lintasan crane monorel tersebut. Si rekan kerja memberi dua acungan jempol. Natsir tersenyum penuh kemenangan.
Namun, masalah kemudian timbul saat barang yang dipindahkan Natsir mencapai ujung lintasan. Di sana, tepat di bawah ujung lintasan yang harusnya menjadi tempat penyimpanan barang, ternyata terdapat barang lain yang jadi penghalang. Tidak main-min, barang itu berupa tumpukan tiga buah drum besar.
Kalau saja drum-drum itu kosong, mungkin akan sangat mudah bagi Natsir untuk menyingkirkannya. Digelindingkan pun gampang. Sayang, ketiga drum tersebut sulit untuk dipindahkan karena memang ada isinya.
Tanpa tahu akibat yang akan diperolehnya, Natsir menurunkan barang dengan cara memiringkan dan menariknya ke arah samping drum. Padahal, saat mengangkat atau menurunkan barang menggunakan hoist, harusnya semua dilakukan dalam keadaan tegak lurus.
Masalah lain yang jauh lebih besar kemudian muncul saat Natsir hendak memindahkan barang lain dari titik barusan ke titik awal tadi. Barang yang harus dipindahkan tersebut berada lebih jauh dari ujung lintasan crane. Selain karena terhalangi drum, ditambah pula dengan terhalangi oleh barang yang baru saja diturunkannya.
Natsir pun kembali menarik hoist ke arah yang cukup jauh dari ujung lintasan agar kail bisa dikaitkan pada barang yang ingin dipindahkan. Saat hal itu dilakukan, tiba-tiba saja baut yang menguatkan pembatas ujung lintasan terlepas. Dalam waktu yang sangat singkat, pembatas terlepas. Hoist beserta troli yang sudah tidak memiliki pembatas pun langsung jatuh tepat mengenai betis Natsir.
Natsir memekik kesakitan. Betis kanannya tertimpa hoist yang beratnya bisa mencapai belasan bahkan puluhan kilogram. Darah merembes. Tulang kering mencuat dari celah celana yang sobek. Patah.
Orang-orang yang saat itu berada di area kerja berhamburan menghampiri Natsir. Sebagian besar tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sebagian lain mencoba mengangkat Natsir ke tempat yang dirasa lebih aman. Sebagian lain lagi mencoba meminta bantuan, termasuk memanggil pak Wiguna.
“Kalau merasa tidak bisa, kenapa kamu memaksakan diri melakukan pekerjaan itu?” tanya pak Wiguna.
Natsir terdiam, menahan sakit di kaki juga di hati.
Semoga menginspirasi, salam safety!