Pelajaran Berharga dari Smoking Area
Sore itu, hujan lebat. Aku tidak bisa pulang karena tidak membawa payung. Kebetulan, hari itu aku juga tidak membawa motor karena sedang diservis. Aku pun hanya bisa pasrah menunggu hujan reda. Sambil menunggu, aku putuskan untuk merokok.
Smoking area yang tidak begitu luas itu ternyata sepi. Lebih tepatnya, sangat sepi. Hanya ada aku seorang diri, ditemani beberapa kursi juga dua buah tong sampah yang bagian atasnya berfungsi sebagai asbak.
Setelah memilih duduk di pojok agar bisa memandang hujan dari balik kaca, aku mulai menyalakan rokok. Tidak sampai tiga atau empat kali isap, seorang pria datang. Perawakannya kurus. Tinggi. Memakai celana kargo warna hitam yang dipadukan dengan kaos lengan panjang warna oranye terang.
Saat membuka pintu, pria itu mengangguk sambil tersenyum ke arahku—satu-satunya penghuni smoking area. Aku pun membalas senyumnya.
“Ngerokok, Mas,” tanyaku basa-basi. Tentu saja aku tahu kalau semua orang yang mendatangi smoking area pastilah ingin merokok. Bukan buang hajat. Apalagi mencari jodoh.
“Iya, Mas. Sambil nunggu hujan reda,” jawabnya.
Dia duduk dan menyalakan kreteknya. Bunyi kemeretek cengkeh dan tembakau yang terbakar bersamaan terdengar kencang di tengah kesenyapan ini. Asapnya mulai membubung. Tebal.Mengalahkanrokok putihku yang hanya mengeluarkan sedikit asap saja.
Beberapa menit pertama, kami hanya terdiam. Aku pura-pura memencet layar ponsel. Mencari-cari kesibukan. Sementara, pria itu menikmati kreteknya sambil sesekali menoleh ke arah jendela. Mungkin memastikan apa hujan sudah reda atau masih berlangsung.
“Departemen mana, Mas? Kok rasa-rasanya baru lihat,” suara pria itu memecahkan keheningan.
“Anak magang HSE, Mas. Baru masuk seminggu yang lalu,” jawabku.
“Oh, anak magang,” sambutnya sambil manggut-manggut diiringi tawa kecil.
Aku tidak mengerti kenapa dia melakukan itu. Tapi, baguslah. Itu jadi celah buatku untuk bisa membuat pertanyaan.
“Kenapa emangnya, Mas?” tanyaku sambil membenarkan posisi duduk.
Pria itu tidak langsung menjawab. Dia malah menyunggingkan senyum sambil mengembuskan asap melalui lubang hidungnya. Beberapa kali dia bahkan sempat terlihat memainkan asap itu. Membentuknya menjadi lingkaran-lingkaran serupa huruf O.
“O, ya, kenalin saya Agus,” sambil menyodorkan jabat tangan.
“Ikhsan,” jawabku sambil menyambut tangannya yang terlihat kurus dengan urat-urat yang seolah meronta ingin keluar.
Aku tidak memalingkan pandang ke mana-mana. Aku terus menatap ke arahnya sambil menunggu jawaban. Beberapa saat kemudian, dia kembali angkat bicara.
“Jadi, nanti Mas bakal kerja di sini?” jawabnya yang jelas-jelas tidak menjawab pertanyaanku.
“Belum tahu, Mas. Ini kan baru magang aja,” timpalku.
“Oooh! Kalau gitu saya doakan semoga Mas jadi Safety Officer yang baik, ya. Enggak kayak si Bapak anu itu,” jawabnya sambil menggerakkan kepala ke arah kiri atas.
Demi menuntaskan rasa penasaran yang tiba-tiba meningkat beberapa kali lipat ini, aku kembali bertanya pada pria yang ternyata berambut ikal itu. Lagi pula, dia memang terlihat ingin mengatakan sesuatu. Hanya saja, dia seperti memancing-mancing agar aku yang bertanya lebih dulu.
“Siapa itu Bapak anu, Mas?” tanyaku. “Dan, ada apa emangnya sama orang itu?” tambahku cepat-cepat.
Dia terlihat mengambil ancang-ancang untuk bicara. Kepalanya ditolehkan ke kanan dan kiri. Memastikan bahwa tidak akan ada orang yang mendengar. Padahal, di ruangan itu jelas-jelas hanya ada kami berdua.
“Ya, saya kira tidak perlu kita sebut namanya di sini, Mas. Yang jelas, Mas pasti sering bertemu dengannya,” jawabnya setengah berbisik dengan badan yang mulai dicondongkan ke arahku.
Jika ada yang menyaksikan, kami mungkin akan terlihat seperti ibu-ibu kompleks yang sedang menggosipkanskandal tetangganya. Tapi, aku tidak peduli. Gosip apapun ini, akan aku dengarkan. Andaikan pria bernama Agus itu mendramatisir gaya bicaranya hingga mirip Feni Rose sekalipun, aku akan tetap khidmat mendengarkan. Kadung penasaran.
“Oh, siap Mas. Biar aman, gimana kalau kita sebut saja orang ini Justin?” tanyaku sambil cekikikan.
“Justin Bieber?” timpalnya sambil diikuti tertawa renyah.
“Boleh-boleh, Mas,” sambutku sambil tertawa yang tak kalah renyahnya. Ternyata, ada juga orang yang lebih garing dari aku.
Agus pun memulai gosip panasnya. Jika aku ceritakan kembali, ringkasnya kurang lebih begini:
Sekitar satu bulan yang lalu, Agus mengalami kejadian yang kurang menyenangkan soal Safety di perusahaan ini. Menurutnya, kejadian itu membuat dia yang asalnya malas memakai APD, berubah menjadi “lebih malas” lagi.
“Ketika memasuki area kerja, siapa pun wajib memakai APD sesuai aturan!” tegas Justin.
“Iya, Pak. Nanti saya akan segera pakai APD lengkap,” tukas Agus menanggapi pernyataan yang tentu saja bukan kali pertama didengarnya ini.
“Jangan nanti-nanti, Mas. Pakai sekarang juga! Perkara Safety itu kadang tidak mengenal kesempatan kedua, lho. Makannya, setiap saat kita harus bersiap-siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi,” sergah Justin. “Ingat: SE-TI-AP-SA-AT!” imbuhnya.
Hari itu pun diakhiri dengan kesediaan Agus untuk mengenakan APD lengkap. Bukan karena safety awareness Agus tiba-tiba melejit begitu saja. Bukan. Melainkan karena takut ketahuan Justin dan diomeli lagi saja.
Satu pekan kemudian, pemandangan mengesalkan dan di luar dugaan dilihat Agus. Kala itu, dia melihat Justin memasuki area kerja perusahaan tanpa mengenakan APD. Ya, tanpa APD! Dia terlihat santai memasuki area kerja tanpa Alat Pelindung Diri yang memadai. Dia bahkan berjalan di lintasan forklift sambil memencet-mencet layar ponselnya.
“Terus, ditegur enggak itu si Justinnya sama Mas?” tanyaku penasaran bercampur kesal.
“Mana saya berani lah, Mas. Saya cuman bisa senyum aja,” jawab Agus disertai ekspresi sinis di wajahnya.
Semoga menginspirasi Anda. Salam Safety!