Lakon yang Mengubah Hidupku

Jika hal itu aku susun menjadi barisan kata, maka hasilnya kurang lebih akan seperti ini, “Peristiwa yang terjadi hanya dalam hitungan detik sekalipun, dapat mengubah hidup seseorang untuk selamanya….”

Sebelum berbicara panjang lebar, izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Rusdi. Umurku baru menginjak 20 tahun. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Sebagai anak sulung, aku merasa punya kewajiban untuk meringankan beban kedua orang tuaku. Oleh karena itu, setelah lulus SMA aku langsung bekerja.

“Bang, kata ibu, perbannya ganti dulu.”

“Iya, nanti .“

Itu adik bungsuku. Namanya Riani. Dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Baru naik kelas dua. Dia sempat merengek dibelikan tablet. Penyebabnya, teman-teman Riani sudah punya barang elektronik tersebut. Hanya dia sendiri pengecualiannya. Aku pun berjanji pada Riani untuk mewujudkan keinginannya. Namun, aku sudah tidak bisa bekerja sebelum mampu menepati janji itu.

Adikku yang satu lagi bernama Rijman. Dia adalah anak yang pandai dan punya hasrat besar untuk mengenyam pendidikan tinggi. Sebentar lagi dia akan masuk SMA. Sayang, keadaanku malah begini. Padahal, akulah harapan terbesarnya untuk bisa membantu membiayai masuk Sekolah Menengah Atas itu.

Ayahku tidak begitu bisa diharapkan. Dia hanyalah pekerja serabutan. Penghasilannya tidak menentu. Maka, selama ini akulah yang ikut berperan untuk menanggung bebannya. Terutama dalam hal membiayai pendidikan kedua adikku tadi. Namun, setelah keadaanku jadi begini, aku tidak tahu lagi. Alih-alih meringankan, mungkin aku malah memperberat bebannya lagi.

Hal yang tak kalah berat dari semua ini adalah, aku harus mengubur dalam-dalam impianku menjadi seorang pemain badminton. Padahal, aku ingin sekali menjadi juara badminton dunia seperti Tontowi Ahmad atau Marcus dan Kevin Sanjaya. Tapi, bagaimana mungkin orang yang tak punya tangan bisa melakukannya?

“Assalaamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalaam.”

“Lho, kenapa kamu duduk di luar?”

“Bosan di kamar terus, Pak. O iya, tumben pulangnya telat, Pak?”

“Iya, soalnya tadi bapak ke rumah Pak RT dulu. Ngobrolin soal kasus kecelakaanmu.”

“Terus gimana, Pak?”

“Alhamdulillah, katanya Pak RT bersedia membantu kita menggugat ke jalur hukum. Semoga kita dapat keadilan.”

“Amin.”

“Ya sudah, ayo kita masuk. Dingin.”

“Sebentar lagi, Pak. Rusdi masih mau di sini.”

Ya, beberapa waktu yang lalu aku mengalami kecelakaan kerja. Akibat kecelakaan itu, aku harus rela kehilangan kedua tangan. Memang, aku masih beruntung karena nyawa tidak turut hilang. Namun, kehilangan tangan, apalagi kedua-duanya, adalah kehilangan yang teramat besar. Aku tetap hidup, tapi tak lagi punya kehidupan.

Waktu itu, aku sedang mencacah berbagai barang berbahan plastik di mesin penghancur. Puluhan menit kemudian, mesin itu mendadak macet. Berbagai barang berbahan plastik yang aku masukkan pun enggan dilumatnya. Sebenarnya, mesin penggiling plastik itu memang sering macet. Mungkin umurnya sudah tua atau perawatannya tidak baik. Entah, aku tidak tahu pasti. Yang jelas, pihak pabrik belum menggantinya dengan yang lebih baik.

Aku kemudian mencoba membetulkan letak barang-barang tersebut. Siapa tahu mesinnya kembali menyala, pikirku. Dan benar saja, ketika aku geser letak barang-barang yang hendak dihancurkan, mesin itu menggeliat kembali.

Sialnya, saat mulut penghancur pada mesin itu mulai bergerak, dengan ganasnya dia menyambar ujung lengan bajuku. Beberapa detik setelahnya, tahu-tahu tanganku pun ikut terseret. Aku berteriak minta tolong sekencang-kencangnya. Namun, tak ada seorang pun yang mendengar.

Setelah tanganku kananku dilahap hampir seperempatnya, mesin itu mati lagi. Saat bising mesin penghancur plastik tidak lagi meredam suaraku, aku pun kembali berteriak meminta tolong sambil berusaha menarik tangan kanan dengan bantuan tangan kiri. Nahas, mesin mendadak menyala kembali. Kedua tanganku akhirnya terperangkap di mulut mesin.

Setelah rekan-rekan kerjaku berdatangan dan melakukan upaya penyelamatan yang cukup dramatis, aku pun terlepas dari gigitan mulut mesin penggiling plastik itu. Butuh waktu sekitar dua jam untuk menyelesaikan proses penyelamatan ini. Dalam keadaan tak sadarkan diri, kemudian aku dilarikan ke rumah sakit. Sejak hari itu, aku hidup tanpa tangan.

Tidak mudah menjalani hidup seperti ini. Terlebih, aku belum mendapat keadilan dari pihak pabrik. Mereka tidak mau bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpaku. Biaya perawatan dan pengobatan pun aku dapat dari sumbangan teman-teman. Ironisnya, mereka bahkan menutup-nutupi kasus ini dari pihak berwajib.

Kini, bapakku tengah mengupayakan bantuan untuk membawa kasus ini ke meja hijau. Semoga aku bisa mendapat keadilan. Namun, kalau pun pada akhirnya aku tidak berhasil menjerat pihak pabrik dengan bantuan hukum dan mereka tetap tidak mau memberi santunan yang layak, tidak mengapa. Hanya saja, aku harap kecelakaan yang menimpaku ini dapat mereka jadikan sebagai pembelajaran bahwa memberi pelatihan keselamatan kerja itu penting. Tidak ada pengecualian.

Semoga menginspirasi, Salam Safety!

 

 

 

×