Satu Orang Seenaknya, Semua Kena Imbasnya

Jarum jam sudah hampir menunjuk angka 2 saat kami mendapat panggilan telepon dari tempat kerja Ringkang. Berita yang disampaikan melalui saluran telepon itu tentu saja bukan berita baik.

“Ditunggu di rumah sakit! Ringkang mengalami kecelakaan kerja,” ucapnya.

Melalui nada bicaranya, si penyampai pesan terdengar mencoba untuk meyakinkan kami bahwa kecelakaan yang menimpa kakakku tidak seburuk itu. Namun, tentu saja kami tidak percaya. Tidak akan ada kabar yang “tidak seburuk itu” jika penyampaiannya dilakukan tergesa-gesa pada dini hari macam ini.

Segera setelah telepon itu ditutup, kami langsung pergi ke rumah sakit yang disebutkan si penyampai pesan. Di sana, kakakku tengah terbaring dengan seluruh badan hampir tertutup perban. Hanya bagian mata dan bibir yang luput dari kain pembalut luka berwarna putih itu.

“Luka bakarnya hampir 80 persen,” ungkap seorang pria yang sedari tadi duduk menunggui Ringkang. Rupanya dialah si penyampai pesan. Namanya Pak Heru. Dia adalah perwakilan yang diutus perusahaan tempat kerja Ringkang untuk menemui kami.

“Ibu dan Bapak tidak perlu khawatir. Seluruh biaya pengobatan Ringkang sampai benar-benar sembuh akan kami tanggung,” ucapnya dengan nada prihatin.

Kami yang masih syok dengan peristiwa itu tidak lantas menanggapi omongan pria paruh baya tersebut. Aku dan bapak bungkam. Sementara ibu terus-terusan istigfar sambil sesekali memanggil-manggil Ringkang yang jelas-jelas tidak akan bisa memberi jawaban. Air mata merembes keluar dari kedua sudut matanya.

Selain itu, jelas bukan perkara biaya pengobatan yang jadi bahan pertama yang kami khawatirkan. Tapi nyawa Ringkang. Anggota keluarga kami tercinta.

“Pak, tolong jelaskan dulu pada kami apa yang sebenarnya terjadi. Jangan malah langsung membahas hal berbau uang macam itu,” ungkapku kemudian dengan ketus. Ya, walaupun kami bukan keluarga berada, tapi uang bukan berarti segalanya. Apalagi dalam situasi genting semacam ini.

“Oh iya Bu, maaf,” balasnya.

“Tapi sebelumnya, perlu saya beritahu bahwa saya pun tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Maksud saya, secara detailnya,” tambahnya.

“Loh, kok bisa, Pak?” susulku setengah emosi.

“Ya karena saya pun sebetulnya tidak ada di lokasi saat peristiwa ini terjadi, Bu,” jawabnya.

“Lagi pula, untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam kecelakaan semacam ini, perlu dilakukan penyelidikan. Tidak bisa disimpulkan sembarangan,” tambahnya.

Aku tidak mampu berkata-kata lagi. Masygul dan sedih bercampur aduk. Dada rasanya sesak.

“Tapi saya akan jelaskan sebisa mungkin,” ucapnya mengawali cerita di balik kecelakaan tragis yang menimpa Ringkang itu.

Menurut Heru yang berdasar pada keterangan saksi mata, hari itu terjadi sebuah ledakan yang cukup besar di area kerja. Ledakan tersebut memicu kebakaran yang tidak kalah besarnya. Sumber ledakan berasal dari tempat pengisian tabung gas oksigen.

Firman, salah satu dari tiga pekerja yang saat itu bertugas mengisi oksigen pada tabung gas bertekanan tersebut diduga telah melakukan prosedur yang tidak sesuai. Pertama, dia tidak melakukan pengecekan pada tabung yang hendak diisi. Jadi, ada kemungkinan bahwa tabung yang dipakai sudah tidak memenuhi standar, rusak, dan tidak layak pakai. Yang kedua dan paling fatal, saat itu Firman diduga melakukan pengisian tabung gas oksigen sambil menyalakan sebatang rokok.

Sebenarnya, saat itu Ringkang sedang bekerja di sektor lain. Kalau tidak salah, dia sedang melakukan maintenance pada beberapa mesin yang lokasinya jauh dari tempat kejadian. Namun, Ringkang mendatangi tempat kejadian karena ada keperluan pada Arifin, salah seorang pekerja yang tengah melakukan pengisian tabung gas oksigen bersama Firman.

Pada saat yang bersamaan dengan kedatangan Ringkang itulah ledakan yang disusul kebakaran terjadi.

“Jadi anak saya memang tidak berbuat salah?” tanya bapak memecah keheningan setelah Heru menuntaskan cerita singkatnya.

“Tentu tidak, Pak,” jawab Heru.

“Tapi, karena untuk bisa menerapkan kesehatan dan keselamatan kerja itu perlu kerja sama dari semua pihak, maka ketika ada orang yang tidak ikut andil dalam proses kerja samanya, ya jadinya begitu, ” imbuh pria tersebut.

“Begitu bagaimana?” tanyaku.

“Ya maksudnya, jika banyak orang sudah menerapkan prinsip keselamatan kerja dengan baik tapi ada satu orang saja yang melanggar seenaknya, maka semua tetap bisa kena imbasnya,” tutur Heru.

“Dan itulah yang terjadi pada Ringkang,” imbuhnya.

Pasca kejadian itu, Ringkang dirawat intensif di rumah sakit. Untuk beberapa waktu, kami merasa bahagia karena walaupun kondisinya kritis, nyawa Ringkang masih bisa terselamatkan. Sedangkan dalam kejadian ledakan dan kebakaran tersebut, Firman dan seorang rekan kerja lainnya yang bertugas mengisi tabung oksigen tewas seketika di lokasi kejadian. Begitu pun dengan Arifin, dia sempat dibawa ke rumah sakit. Sayang, Arifin meninggal dalam perjalanan.

Belum sempat rasa syukur ini hilang, Tuhan berkata lain. Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit, Ringkang ternyata tidak bisa bertahan. Dia menyusul Firman dan Arifin menghadap sang Maha Pencipta.

Semoga Menginspirasi, Salam Safety!

 

 

 

×