Tragedi Bertelanjang Kaki

Sudah hampir sepeminuman teh dia mencoba meraih bungkus rokok yang terjatuh itu. Tangannya berkali-kali dijulurkan sekuat mungkin. Tidak berhasil. Jangankan tangan, ujung jari telunjuknya saja bahkan tak sampai menyentuh bungkus rokok berwarna merah hitam itu.

Kotak berisi 5 batang rokok tersebut jatuh tepat di atas tanah. Dari tanah ke teras rumah tingginya memang tidak seberapa. Hanya sekitar dua puluh sentimeter. Namun, dalam kondisinya sekarang ini, melakukan gerakan berlebih pada ketinggian seperti itu sudah cukup untuk bisa membuatnya tersungkur. Tanpa perlawanan berarti.

Sebenarnya, dia sudah menyerah untuk menggapainya. Dia pun sudah mencoba minta bantuan dengan cara memanggil istrinya. Tapi, istrinya tak kunjung datang. Mungkin ia sedang sibuk memasak di dapur. Atau, sedang mencuci. Atau, bisa juga sedang merongrong tukang sayur, menyingsingkan lengan baju untuk menawar harga sayuran hingga level terendah. Entah. Hanya istrinya dan Tuhan yang tahu.

Dia juga sudah berusaha memanggil anak semata wayangnya. Nihil. Entah ke mana anak itu. Padahal beberapa waktu sebelumnya, dia melihat anaknya ada di ruang tamu. Tengah menunduk sambil memencet-mencet layar gawai.

Mulutnya kian terasa masam, ingin segera mengisap rokok terkutuk yang entah kenapa tiba-tiba terjatuh. Lama-lama, dia jadi merutuki kakinya sendiri. Kalau tidak ada kejadian sialan itu, dia mungkin tidak akan berakhir di kursi roda seperti ini.

***

Sudah lebih dari tiga hari, langit tampak seperti habis dipel. Bersih. Tak bercela. Satu dua helai awan memang menggantung di tepian cakrawala. Tipis saja. Tidak sampai menyurutkan langkah matahari untuk menampilkan kegagahan diri.

Hari-hari yang panas terik ini memengaruhi Imran, seorang pekerja konstruksi bangunanyang baru melakoni kariernya belum lama ini. Kala itu, baginya semua Alat Pelindung Diri yang dikenakan terasa hanya membikin lebih gerah saja. Juga membebani. Terutama, sepatu safety. Sepatu itu terasa lebih banyak menghambat kinerjanya. Jalan jadi lebih berat, gerakan jadi kurang gesit, dan lain sebagainya.

Tanpa pikir panjang, Imran mulai melepas sepatu itu satu persatu—persis seperti dua hari sebelumnya. Tanpa beban. Tanpa merasa ketakutan.

“Ah, kemarin-kemarin juga dilepas dan enggak kenapa-kenapa,” pikirnya dalam hati.

Seorang rekan kerja yang melihat hal itu berusaha menegur Imran. Dia memperingatkan bahwa Imran bisa kena semprot Safety Officer kalau terlihat tidak memakai APD lengkap. Tapi, Imran tidak mengindahkannya.

“Santai aja, Bro. Aman, kok” tukas Imran.

“Aman-aman gundulmu! Nanti kalau ada orang HSE yang lihat gimana?” tanya si rekan kerja.

“Bisa diatur!” jawab Imran sambil menyeringai. Si rekan kerja hanya bisa mengangkat bahu dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

Alhasil, Imran melenggang dengan bertelanjang kaki. Tak dihiraukannya berbagai benda tajam yang bisa melukai kaki, entah itu serpihan kayu, kaca, paku, hingga potongan besi yang bertebaran di sana-sini.

“Nah, kan. Kalau sudah dibuka begini, berjalan juga rasanya jadi lebih cepat. Dan kalau tetap hati-hati saat berjalan, kaki akan tetap aman,” bisiknya pada diri sendiri.

Beberapa jam berselang, kesialan datang. Seorang Safety Officer bernama Ewink mengecek area kerja konstruksi tersebut. Seperti diduga, Ewink terkejut melihat atraksi Imran dalam menentang potensi bahaya yang setiap saat bisa saja melumat kakinya. Tanpa berlama-lama, Ewink memanggil Imran dan menegurnya. Imran pun berjalan menghampiri sang Safety Officer dengan hati tak keruan.

“Lho, Mas. Kenapa enggak dipakai itu sepatu safety-nya?” tanya Ewink sambil menuding ke arah kaki Imran. “Sambil ngerokok pula,” tambahnya.

Imran menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal sambil memikirkan cara untuk menjawab pertanyaan si Safety Officer. Haduh… mati! Harus jawab apa ini?

“Emmm … anu, Pak. Tadi kaki saya agak bengkak. Mungkin rematiknya kambuh. Jadi, enggak enak kalau pakai sepatu,” jawab Imran asal saja.

“Tapi, ini kan area kerja yang berbahaya, Mas. Nanti kalau celaka gimana?” sergah si Safety Officer.

“Iya, Pak” jawab Imran singkat saja sambil membuang puntung rokok ke sembarang arah.

Untung menerpa Imran. Di saat bersamaan, rekan kerjanya memberi tahu bahwa dia dipanggil Mandor Proyek. Tentu saja, momen berharga  untuk mengakhiri kecanggungannya akibat ditegur si Safety Officer ini tak disia-siakan begitu saja. Dia lekas meminta izin pada Safety Officer yang masih tampak kesal itu untuk segera menghadap Mandor Proyek.

Percakapan antara dirinya dengan Safety Officer itu pun diakhiri dengan sikap tegas Ewink agar Imran kembali memakai sepatu safety-nya. Apapun yang terjadi.

“Pokoknya, saya minta Anda nanti pakai lagi sepatu safety-nya!” tandas Ewink.

“Siap, Pak!” jawab Imran.

Dia pun berlalu meninggalkan Ewink dan mendatangi Mandor Proyek sambil menenteng sepatu safety. Di sana, Imran diminta untuk menggantikan pekerjaan rekannya yang sempat tertunda gara-gara sakit. Pekerjaan yang dimaksud adalah membersihkan dinding alias scraping.

Tanpa melakukan pengecekan berarti pada perancah maupun area sekitarnya, Imran mulai naik dan bergegas  melakukan pekerjaan pembersihan dinding. Niatnya untuk segera memakai sepatu safety lagi urung dilakukan. Pasalnya, dia berencana akan memakainya kembali setelah pekerjaan scraping ini beres. “Tanggung,” pikirnya.

 “Kecelakaan kerja itu nyata. Sikap kerja yang buruk menjadikannya terlaksana,” kutipan ini kiranya tepat untuk menggambarkan kejadian yang menimpa Imran beberapa waktu kemudian.

Saat itu, ketika membersihkan dinding, Imran melakukannya dengan cara mundur dari satu sisi tembok ke sisi lainnya. Karena bergerak mundur, dia tidak menyadari bahwa perancah yang diinjaknya sudah mencapai ujung.

“Bruuukkk!”. Imran jatuh seketika. Kakinya yang tidak dilindungi dengan sepatu safety itu menghantam kerangka besi yang memiliki bagian runcing yang mencuat di beberapa sisi. Bilah-bilah besi pun tertancap di sana. Tepat di telapak kakinya.

Erangan Imran pecah. Erangan yang tidak berbuah apa-apa kecuali sebundel penyesalan.

Semoga menginspirasi Anda. Salam Safety!

×