Tragedi Kapal Feri
Saat musibah itu terjadi, aku dan istriku sedang melakukan perjalanan antar-pulau menggunakan kapal feri. Kapal yang kami tumpangi adalah kapal feri tradisional berjenis ro-ro alias roll in-roll out. Kapal ini memiliki daya tampung maksimal 150 orang, tetapi aku sangat yakin penumpang yang diangkutnya jauh melebihi kapasitas.
“Apa kita naik kapal feri yang lainnya saja?” tanya istriku saat melihat penumpang berjejal tak keruan.
Selain karena waktu sudah hampir petang, aku juga tidak tahu apakah masih ada kapal lain yang akan menyeberang atau tidak. Maka, aku mantapkan hati untuk tetap menaiki kapal ini. Istriku akhirnya setuju.
Ketika kapal berlayar, cuaca tampak tidak bersahabat. Langit mendung dan angin bertiup cukup kencang. Saat perjalanan antar pulau ini mencapai kira-kira seperempatnya, hujan pun mengguyur deras. Aku dan istriku yang sedari tadi berdiam di geladak depan kemudian masuk ke dalam area tempat duduk penumpang yang penuh sesak.
Tidak berselang lama, angin kencang menyapu lautan. Kapal feri yang mayoritas kerangkanya terdiri dari bahan kayu ini pun oleng. Satu kali tertiup, penumpang masih terlihat tenang. Namun, untuk kali kedua, ketiga, dan keempat, semua penumpang panik dibuatnya.
Penumpang pun terbagi dua, ada yang diam karena tidak tahu harus berbuat apa. Ada juga yang langsung berhamburan keluar untuk menceburkan diri ke dalam air. Aku dan istriku termasuk ke dalam kelompok kedua.
Satu per satu penumpang mulai terjun ke dalam air yang sedang mengamuk. Tanpa berbekal pengaman apa pun.
“Ayo kita cari jaket pelampung dulu, Dik!”
Kami tidak tahu di mana letak life jacket itu berada. Sedari awal kami memang tidak diberitahu tempat penyimpanannya. Jangankan keberadaan alat-alat keselamatan, informasi keselamatan dasar dalam kapal pun tidak diberikan. Saat menggunakan kapal lain, walau tidak diinformasikan lewat layar TV maupun diumumkan secara langsung oleh awak kapal, aku biasanya mendapat panduan keselamatan dalam bentuk brosur yang diselipkan di kursi-kursi penumpang. Namun, di kapal ini, aku tidak menemukannya barang selembar pun. Bahkan, awak kapal yang harusnya membantu kami melakukan tindakan penyelamatan diri juga tidak tampak batang hidungnya.
“Lihat itu, Bang!” ujar istriku.
Dia menunjuk ke arah kerumunan penumpang yang menemukan tempat keberadaan life jacket. Saat kami mendatangi lokasi, semua sudah habis terpakai. Beberapa orang bahkan terlihat berebut hingga berkelahi untuk mendapatkannya.
“Ya sudah, kita pasrah saja. Yang terpenting, sekarang kita harus segera keluar dari sini.”
“Iya, Bang. Tapi, tadi tasku terjatuh saat lari keluar. Aku mau mencarinya dulu.”
“Jangan! Kita harus terjun secepatnya.”
“Tapi, Bang, uang kita ada di dalam tas.”
“Nyawa kita lebih penting daripada uang,” tandasku sambil menariknya berlari keluar.
Saat berada di bibir kapal, aku memberinya sedikit petunjuk keselamatan melompat ke dalam air. Pertama, aku menekankan agar kami harus melompat ke area yang kosong, supaya tidak menimpa tubuh orang lain. Kedua, sepatu yang kami kenakan tidak boleh dilepas karena kaki harus terlindungi.
“Letakan salah satu lengan di perut, lalu genggam siku yang satunya. Gunakan tangan yang lain untuk menutup hidung” ucapku sambil mempraktikkan cara aman melompat ke dalam air yang ketiga.
“Terus, kita lompat sejauh mungkin dari kapal ini,” imbuhku.
“Nanti pas terjun, silangkan kaki dan masuk ke dalam air dengan posisi telapak kaki terlebih dulu,” tambahku lagi dengan cepat. Kami pun melompat bersama-sama dan terus berenang menjauhi kapal.
Di saat bersamaan, sebuah gelombang besar datang dan menyerang kapal secara membabi-buta. Kapal itu langsung terbalik diiringi tangis dan jeritan penumpang yang masih ada di dalamnya.
Aku dan istriku menengok ke belakang. Kapal benar-benar terbalik. Orang-orang tercebur tanpa pelampung. Banyak di antaranya yang bangkit dan tergopoh menaiki kapal yang sudah tertelungkup. Mereka memanjat kulit kapal itu sambil saling menarik kaki siapa pun yang berada lebih atas darinya. Beberapa berhasil, sebagian besar tidak.
Tangisan, doa, dan teriakan minta tolong yang ditujukan entah kepada siapa itu hanya terdengar samar-samar, terkalahkan oleh bunyi ombak dan hujan yang masih turun dengan riangnya.
Agar bisa terapung lebih lama, aku mengajak istriku mencari barang apa pun yang bisa ditemukan untuk bisa dijadikan alat bantu mengapung.
“Cari barang, serpihan kapal, atau apa pun itu yang bisa bantu kita terapung,” kataku padanya. Beruntung, kami menemukan puing-puing kapal yang berukuran cukup besar.
Hari mulai berganti jadi malam. Kami masih terombang-ambing menunggu bantuan yang entah kapan datangnya. Satu per satu kepala yang tadinya masih terlihat mengapung di kejauhan, kini lenyap. Tertelan dalamnya lautan. Begitu pun dengan bangkai kapal feri yang tadi kami naiki.
Untuk mencegah hipotermia, kami menghampiri korban terdekat lain yang masih selamat.
“Kita harus saling berpelukan untuk menjaga tubuh tetap panas,” ujarku pada beberapa orang yang masih bertahan.
“Bisa juga dengan cara merapatkan lutut hingga ke dada,” imbuhku. “Terutama bagi yang pakai jaket pelampung.”
Beberapa orang mengikuti saranku. Sisanya sibuk menangis dan meraung meratapi nasib buruknya.
Setelah tim penolong datang, korban yang masih bertahan akhirnya terselamatkan. Kami pun langsung dibawa ke rumah sakit terdekat. Dari berita yang aku dengar beberapa waktu setelahnya, musibah ini menelan ratusan korban. Hanya sekitar tiga puluhan orang saja yang selamat. Termasuk aku dan istriku.
Ya, kami memang selamat. Namun, rasa takut itu masih tersisa. Mungkin untuk selamanya.
Semoga Menginspirasi, Salam Safety!