Baik perusahaan berskala besar maupun kecil harus mengutamakan aspek perlindungan pekerja dengan menerapkan standar K3 di lingkungan kerja.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah hal penting yang harus diterapkan dalam bekerja. Apa pun bidang pekerjaannya, K3 adalah yang utama. Perusahaan-perusahaan di Indonesia berskala besar maupun kecil harus mengutamakan aspek perlindungan pekerja dengan menerapkan standar K3 di lingkungan kerja.
Peraturan terbaru mengenai K3 di lingkungan kerja ini terdapat pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) RI No. 5 Tahun 2018 tentang K3 Lingkungan Kerja (terbit pada tanggal 27 April 2018). Penerbitan Permenaker ini untuk mewujudkan lingkungan kerja yang aman, sehat, dan nyaman serta mencegah kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (PAK).
Permenaker tersebut sekaligus mencabut tiga peraturan sebelumnya, yakni Peraturan Menteri Perburuhan No. 7 tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan, serta Penerangan di Tempat Kerja, Peraturan Menteri Pekerja Dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Kimia di Tempat Kerja, serta Surat Edaran Menteri Pekerja dan Transmigrasi Nomor SE.01/MEN/1978 tentang Nilai Ambang Batas untuk Iklim Kerja dan Nilai Ambang Batas untuk Kebisingan di Tempat Kerja.
Permenaker No. 5 Tahun 2018 memberikan pedoman baru mengenai nilai ambang batas (NAB) faktor fisika dan kimia, standar faktor biologi, ergonomi, dan psikologi serta persyaratan kebersihan dan sanitasi, termasuk kualitas udara dalam ruangan (indoor air quality) untuk terwujudnya tempat kerja yang aman, sehat, dan nyaman.
Baca juga artikel ini:
- 5 Poin Dasar Tentang K3 yang Penting Diketahui Pengurus dan Pekerja
- 4 Poin Penting Audit Eksternal SMK3, Bagaimana Menurut Regulasi?
4 Poin Penting Permenaker No. 5 Tahun 2018
K3 lingkungan kerja adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan pekerja melalui pengendalian lingkungan kerja dan penerapan higiene dan sanitasi di tempat kerja.
Sesuai Permenaker No.5 Tahun 2018 Pasal 4, tujuannya adalah untuk mewujudkan lingkungan kerja yang aman, sehat, dan nyaman dalam rangka mencegah kecelakaan kerja dan PAK. Lantas, apa saja isi atau pedoman baru dari Permenaker No.5 Tahun 2018?
1. Apa yang Menjadi Kewajiban Pengusaha dan/atau Pengurus Terkait K3 Lingkungan Kerja?
Dalam Pasal 2 dan 3 dijelaskan secara gamblang bahwa setiap pengusaha dan/atau pengurus wajib melaksanakan syarat-syarat K3 lingkungan kerja. Syarat-syarat K3 lingkungan kerja tersebut meliputi:
- Pengendalian faktor fisika dan kimia agar berada di bawah NAB
- Pengendalian faktor biologi, faktor ergonomi, dan faktor psikologi kerja agar memenuhi standar
- Penyediaan fasilitas kebersihan dan sarana higiene di tempat kerja yang bersih dan sehat
- Penyediaan personil K3 yang memiliki kompetensi dan kewenangan K3 di bidang lingkungan kerja.
2. Apa yang Harus Dilakukan Pengusaha dan/atau Pengurus dalam Menerapkan Syarat-syarat K3 Lingkungan Kerja?
Sesuai Pasal 5, pelaksanaan syarat-syarat K3 lingkungan kerja dilakukan melalui kegiatan pengukuran dan pengendalian lingkungan kerja serta penerapan higiene dan sanitasi.
Pengukuran dan pengendalian lingkungan kerja tersebut meliputi faktor fisika, kimia, biologi, ergonomi, dan psikologi. Sementara penerapan higiene dan sanitasi meliputi bangunan tempat kerja, fasilitas kebersihan, kebutuhan udara, dan tata laksana kerumahtanggaan.
Dalam Pasal 6, pengukuran lingkungan kerja dilakukan untuk mengetahui tingkat pajanan faktor fisika, kimia, biologi, ergonomi, dan psikologi terhadap pekerja. Pengukuran ini dilakukan sesuai dengan metode uji yang ditetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) atau jika metode uji belum ditetapkan dalam SNI, pengukuran dapat dilakukan dengan metode uji lainnya sesuai dengan standar yang telah divalidasi oleh lembaga berwenang.
Sementara pengendalian lingkungan kerja yang dibahas dalam Pasal 7 dilakukan agar tingkat pajanan faktor fisika dan kimia berada di bawah NAB dan agar penerapan faktor biologi, ergonomi, dan psikologi memenuhi standar. Pengusaha/pengurus perusahaan harus melakukan pengendalian lingkungan kerja sesuai hierarki pengendalian meliputi upaya eliminasi, substitusi, rekayasa teknologi, administratif, dan/atau penggunaan alat pelindung diri.
3. Bagaimana Pedoman Baru Mengenai Faktor Fisika, Kimia, Biologi, Ergonomi, dan Psikologi?
Pengukuran dan pengendalian faktor fisika, kimia, biologi, ergonomi, dan psikologi meliputi:
a. Faktor fisika
Faktor fisika adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas pekerja yang bersifat fisika, diakibatkan oleh penggunaan mesin, peralatan, bahan, dan kondisi lingkungan di sekitar tempat kerja yang dapat mengakibatkan gangguan dan PAK.
Pengukuran dan pengendalian faktor fisika meliputi iklim kerja, kebisingan, getaran, gelombang radio atau gelombang mikro, sinar Ultra Ungu (Ultra Violet), radiasi Medan Magnet Statis, tekanan udara, dan pencahayaan.
Dalam Permenaker No.5 Tahun 2018 Pasal 9 diatur mengenai standar iklim kerja dingin, tekanan dingin adalah pengeluaran panas akibat pajanan terus-menerus terhadap dingin yang mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menghasilkan panas sehingga mengakibatkan hipotermia (suhu tubuh di bawah 36°C).
Standar iklim kerja dingin ini tidak diatur dalam Permenaker No. 13 Tahun 2011. Standar iklim kerja dingin meliputi tabel standar di mana terdapat suhu dingin, kecepatan angin, suhu aktual yang dirasakan dan tingkat bahaya. Standar iklim kerja dingin juga menjelaskan tentang istirahat yang harus diambil untuk shift kerja 4 jam.
Catatan: NAB faktor fisika tercantum pada lampiran Permenaker No. 5 Tahun 2018 poin 1.
b. Faktor Kimia
Faktor kimia adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas pekerja yang bersifat kimiawi, diakibatkan oleh penggunaan bahan kimia dan turunannya di tempat kerja yang dapat mengakibatkan penyakit pada pekerja, meliputi kontaminan kimia di udara berupa gas, uap, dan partikulat.
Pada pasal 20, pengukuran dan pengendalian faktor kimia harus dilakukan pada tempat kerja yang memiliki potensi bahaya bahan kimia. Pengukuran faktor kimia dilakukan terhadap pajanannya dan pekerja yang terpajan.
Hasil pengukuran faktor kimia terhadap pajanan harus dibandingkan dengan:
- Nilai Ambang Batas (NAB) yang harus dilakukan paling singkat selama 6 jam.
- Pajanan Singkat Diperkenankan (PSD) yang harus dilakukan paling singkat selama 15 menit sebanyak 4 kali dalam durasi 8 jam kerja.
- Kadar Tertinggi Diperkenankan (KTD) yang harus dilakukan menggunakan alat pembacaan langsung untuk memastikan tidak terlampaui.
Sementara pengukuran faktor kimia terhadap pekerja yang terpajan dilakukan melalui pemeriksaan kesehatan khusus pada spesimen tubuh pekerja dan dibandingkan dengan Indeks Pajanan Biologi (IPB). IPB adalah kadar konsentrasi bahan kimia yang didapatkan dalam spesimen tubuh pekerja dan digunakan untuk menentukan tingkat pajanan terhadap pekerja sehat yang terpajan bahan kimia.
Poster K3 Penanganan Bahan Kimia
Jika hasil pengukuran terhadap pajanan melebihi NAB dan terhadap pekerja yang mengalami pajanan melebihi IPB harus dilakukan pengendalian, di antaranya:
- Menghilangkan sumber potensi bahaya kimia di tempat kerja
- Mengganti bahan kimia dengan bahan kimia lain yang tidak mempunyai potensi bahaya atau potensi bahaya yang lebih rendah
- Memodifikasi proses kerja yang menimbulkan sumber potensi bahaya kimia
- Mengisolasi atau membatasi pajanan sumber potensi bahaya kimia
- Menyediakan sistem ventilasi
- Membatasi pajanan sumber potensi bahaya kimia melalui pengaturan waktu kerja
- Merotasi pekerja ke dalam proses pekerjaan yang tidak terdapat potensi bahaya bahan kimia;
- Penyediaan lembar data keselamatan bahan (LDKB) dan label bahan kimia
- Penggunaan alat pelindung diri (APD) yang sesuai
- Pengendalian lainnya sesuai dengan tingkat risiko.
Catatan: NAB faktor kimia tercantum pada lampiran Permenaker No.5 Tahun 2018 poin 3.
c. Faktor Biologi
Faktor biologi adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas pekerja yang bersifat biologi, diakibatkan oleh makhluk hidup meliputi hewan, tumbuhan dan produknya serta mikroorganisme yang dapat mengakibatkan PAK.
Pengukuran, pemantauan, dan pengendalian faktor biologi harus dilakukan pada tempat kerja yang memiliki potensi bahaya faktor biologi.
Jika hasil pengukuran faktor biologi melebihi standar, maka harus dilakukan pengendalian. Semua potensi bahaya kecuali binatang berbisa dan buas dilakukan pengendalian dengan:
- Menghilangkan sumber bahaya faktor biologi dari tempat kerja
- Mengganti bahan dan proses kerja yang menimbulkan sumber bahaya faktor biologi
- Mengisolasi atau membatasi pajanan sumber bahaya faktor biologi
- Menyediakan sistem ventilasi
- Mengatur atau membatasi waktu pajanan terhadap sumber bahaya faktor biologi
- Menggunakan baju kerja yang sesuai
- Menggunakan APD yang sesuai
- Memasang rambu-rambu yang sesuai
- Memberikan vaksinasi apabila memungkinkan
- Meningkatkan higiene perorangan
- Memberikan desinfektan penyediaan fasilitas Sanitasi berupa air mengalir dan antiseptik
- Pengendalian lainnya sesuai dengan tingkat risiko.
Catatan: Standar faktor biologi tercantum pada lampiran Permenaker No.5 Tahun 2018 poin 5.
d. Faktor Ergonomi
Faktor ergonomi adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas pekerja, diakibatkan oleh ketidaksesuaian antara fasilitas kerja yang meliputi cara kerja, posisi kerja, alat kerja, dan beban angkat terhadap pekerja.
Pengukuran dan pengendalian faktor ergonomi harus dilakukan pada tempat kerja yang memiliki potensi bahaya faktor ergonomi. Potensi bahaya faktor ergonomi meliputi:
- Cara kerja, posisi kerja, dan postur tubuh yang tidak sesuai saat melakukan pekerjaan
- Desain alat kerja dan tempat kerja yang tidak sesuai dengan antropometri pekerja
- Pengangkatan beban yang melebihi kapasitas kerja.
Jika hasil pengukuran terdapat potensi bahaya harus dilakukan pengendalian sehingga dapat memenuhi standar. Pengendalian dilakukan dengan:
- Menghindari posisi kerja yang janggal
- Memperbaiki cara kerja dan posisi kerja
- Mendesain kembali atau mengganti tempat kerja, objek kerja, bahan, desain tempat kerja, dan peralatan kerja
- Memodifikasi tempat kerja, objek kerja, bahan, desain tempat kerja, dan peralatan kerja
- Mengatur waktu kerja dan waktu istirahat
- Melakukan pekerjaan dengan sikap tubuh dalam posisi netral atau baik
- Menggunakan alat bantu.
Faktor ergonomi ini tidak ada dalam tiga peraturan sebelumnya yang dicabut oleh Permenaker No.5 Tahun 2018. Faktor ergonomi dijelaskan lebih lengkap dalam lampiran Permenaker No.5 tahun 2018.
Penjelasan tersebut meliputi standar pengukuran, pengolahan, dan penggunaan antropometri, desain stasiun kerja, desain manual handling di tempat kerja, dan penilaian batas beban angkat aman serta indeks angkat objek.
Catatan: Standar faktor ergonomi tercantum pada lampiran Permenaker No.5 Tahun 2018 poin 6.
e. Faktor Psikologi
Faktor psikologi adalah faktor yang mempengaruhi aktivitas pekerja, diakibatkan oleh hubungan antar personal di tempat kerja, peran dan tanggung jawab terhadap pekerjaan.
Pengukuran dan pengendalian faktor psikologi harus dilakukan pada tempat kerja yang memiliki potensi bahaya faktor psikologi. Potensi bahaya faktor psikologi meliputi:
- Ketidakjelasan/ketaksaan peran
- Konflik peran
- Beban kerja berlebih secara kualitatif
- Beban kerja berlebih secara kuantitatif
- Pengembangan karier
- Tanggung jawab terhadap orang lain.
Faktor psikologi juga tidak ada dalam tiga peraturan sebelumnya. Pengukuran faktor psikologi di tempat kerja dilakukan menggunakan metode survei dengan 7 skala. Survei tersebut meliputi tujuan tugas dan pekerjaan, tuntutan pekerjaan, beban kerja, pengembangan karier, peran dalam pekerjaan, dan lain-lain.
Jika hasil pengukuran terdapat potensi bahaya faktor psikologi, maka harus dilakukan pengendalian sesuai standar. Pengendalian dilakukan setelah penilaian risiko dan didapatkan faktor yang berkontribusi.
Pengendalian melalui manajemen stres dilakukan dengan:
- Melakukan pemilihan, penempatan dan pendidikan pelatihan bagi pekerja
- Mengadakan program kebugaran bagi pekerja
- Mengadakan program konseling
- Mengadakan komunikasi organisasional secara memadai
- Memberikan kebebasan bagi pekerja untuk memberikan masukan dalam proses pengambilan keputusan
- Mengubah struktur organisasi, fungsi dan/atau dengan merancang kembali pekerjaan yang ada
- Menggunakan sistem pemberian imbalan tertentu
- Pengendalian lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Catatan: Standar faktor psikologi tercantum pada lampiran Permenaker No.5 Tahun 2018 poin 7.
4. Bagaimana Pedoman Baru Mengenai Higiene dan Sanitasi?
Higiene adalah usaha kesehatan preventif yang menitikberatkan kegiatannya kepada usaha kesehatan individu maupun usaha pribadi hidup manusia. Sedangkan sanitasi adalah usaha kesehatan preventif yang menitikberatkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia.
Poster K3 Tata Graha atau Housekeeping
Penerapan higiene dan sanitasi yang diterapkan di tempat kerja meliputi:
- Bangunan tempat kerja yang mencakup halaman, gedung (dinding dan langit-langit, atap, dan lantai), dan bangunan bawah tanah.
- Fasilitas kebersihan yang mencakup toilet dan kelengkapannya; loker dan ruang ganti pakaian; tempat sampah; dan peralatan kebersihan.
- Kebutuhan atas udara yang bersih dan sehat.
- Ketatarumahtanggaan atau tata graha (housekeeping) yang baik meliputi upaya:
- Memisahkan alat, perkakas, dan bahan yang diperlukan atau digunakan
- Menata alat, perkakas, dan bahan sesuai dengan posisi yang ditetapkan
- Membersihkan alat, perkakas, dan bahan secara rutin
- Menetapkan dan melaksanakan prosedur kebersihan, penempatan dan penataan untuk alat, perkakas, dan bahan
- Mengembangkan prosedur kebersihan, penempatan dan penataan untuk alat, perkakas, dan bahan.
Catatan: Penjelasan lebih lengkap mengenai penerapan higiene dan sanitasi terdapat dalam Bab III Penerapan Higiene dan Sanitasi Pasal 26 sampai dengan Pasal 44.
Penerapan K3 harus menjadi budaya di lingkungan kerja. Penerapan K3 tidak boleh dijadikan beban karena tujuannya untuk mencegah kerugian, baik dari kalangan pekerja maupun pengusaha. Dengan adanya Permenaker ini diharapkan perusahaan dan pekerja dapat berkomitmen untuk mewujudkan aman, sehat, nyaman, dan nihil kecelakaan di lingkungan kerja.
Salam safety!
Mohon dibantu apakah di peraturan tersebut menerangkan kewajiban pemantauan secara berkala. Misalnya wajib dilakukan setiap 6 bulan sekali, dst
Halo Pak Fathul,
Dalam Permenaker RI No.5 Tahun 2018 ini, perihal pemantauan syarat-syarat K3 Lingkungan Kerja secara berkala tertuang dalam Pasal 69, di mana Nilai Ambang Batas (NAB) dan/atau standar terkait syarat-syarat K3 lingkungan kerja harus ditinjau secara berkala paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebagai informasi juga, sesuai Pasal 62, perusahaan juga wajib melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kondisi lingkungan kerja secara berkala oleh Lembaga Eksternal paling sedikit 1 (satu) tahun sekali atau sesuai dengan penilaian risiko atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
Semoga jawabannya dapat membantu. Salam safety!
Mohon informasinya jika kandungan bakteri setelah dilakukan pengukuran ternyata melebihi nilai ambang batas (NAB). Apa penyebabnya dan bagaimana mengatasinya?
Halo Pak Darmawan, penyebab kandungan bakteri melebihi NAB bisa beragam tergantung pada jenis bakterinya, bahan, proses kerja atau kondisi lingkungan kerja sekitar. Untuk mengatasi atau mengendalikannya, Bapak dapat mengeceknya pada Permenaker No.5 Tahun 2018 Pasal 22 tentang Faktor Biologi.
Mohon informasinya, apakah ada perusahaan atau 3rd party di Jakarta yang bisa mengecek suhu, humidity dan lainnya sesuai permenaker diatas. Karena point tersebut menjadi rekomendasi pada saat external QHSE audit
Halo Pak Akbar, untuk perusahaan yang menyediakan layanan pengukuran lingkungan kerja fisik pastikan memilih yang sudah teregistrasi di Kemenlhk, contohnya PT Sucofindo.
Mohon info apakah ada third party yang bisa secara independent mengaudit kantor kami sesuai permenaker diatas
Bisa Lab. IPB pak.
Berapa tarif untuk pemeriksaan itu semua…apakah ada peraturan yg mengatur besaran biaya pemeriksaan itu?
Mohon informasinya, regulasi yang berhubungan dengan kompetensi penguji mengacu pada regulasi yang mana?
Halo Pak Irwan, untuk regulasi yang mengatur tentang kompetensi penguji/personel K3 untuk pengukuran dan pengendalian lingkungan kerja terdapat pada Permenaker No.5 Tahun 2018 Pasal 45.
Saya izin bertanya, terkait peraturan permenaker no 5 tahun 2018 pasal 20 tentang pengukuran faktor kimia, rujukannya bisa NAB, PSD, dan KTD. Terkait dengan PSD dijelaskan bahwa dilakukan selama 15 menit sebanyak 4 kali dalam durasi 8 jam. Bila dalam prosesnya tidak kontinyu atau paparan dengan faktor kimianya hanya sesaat dalam kurun waktu 8 jam, misalkan 15 menit dalam 8 jam dan kami ingin merujuk ke PSD, apakah tetap harus dilakukan pengukuran sebanyak 4 kali?
Terimakasih bu sebelumnya
Halo Pak Sofi,
Betul, Pak, merujuk pada Permenaker No.5 Tahun 2018 Pasal 20, bila pengukuran faktor kimia yang hasilnya untuk dibandingkan dengan PSD, direkomendasikan dilakukan paling singkat selama 15 menit sebanyak 4 kali dalam satu hari kerja (durasi 8 jam), sekalipun pajanan sifatnya intermittent. Hal ini dilakukan untuk menghindari iritasi, kerusakan jaringan tubuh maupun terbius. Namun, untuk pertimbangan lain, terkait hal ini dapat Bapak diskusikan dengan Personil K3 bidang Lingkungan Kerja yang ada di tempat kerja atau penyedia layanan pengukuran lingkungan kerja. Semoga membantu.
Mohon informasi apakah Permenaker No. 5 Tahun 2018 apakah ada dalam versi Bahasa English ?
Belum ada, Sob. Untuk regulasi tersebut sampai saat ini hanya tersedia dalam versi Bahasa saja.
Dear Admin,
Mohon izin share untuk safety moment.
Terimakasih