“Dit, bawa motor ga?”

“Bawa, Cok. Kenapa?”

“Pinjem sebentar, dong.”

“Mau ke mana, Cok?”

“Ke mini market. Sekalian mau beli batu baterai titipan pak Erik.”

“Ya sudah, bareng saja. Aku juga mau beli sesuatu.”

Dua orang yang baru beberapa hari berteman itu langsung meluncur menuju mini market terdekat. Radit, si karyawan baru, membeli satu bungkus rokok beserta korek gasnya dan satu minuman kaleng rasa kopi. Sementara Coki, membeli beberapa bungkus keripik kentang, mi siap seduh, dan satu botol minuman bersoda.

Coki membuka salah satu bungkus keripik kentang dan perlahan melahapnya. Sementara Radit bergegas membuka bungkus rokok lalu menyalakan satu batang di antaranya. Obrolan hangat pun dimulai.

“Dit, ngomong-ngomong, kenapa kamu memutuskan kerja di sini?” tanya Coki sambil membuka botol minuman bersoda.

“Ya, cari pengalaman baru saja, Cok.”

“Hmmm…” jawabnya sambil menenggak minuman tersebut. Bunyi glek-glek-glek mengisi ruang di antara keduanya.

“Kamu sudah lama kerja di sini?”

“Lumayan,” ucap Coki sambil terus mengguyurkan minuman bersoda itu ke dalam kerongkongannya.

Coki kembali menyambar keripiki kentang yang mulai menyusut jumlahnya. Dalam jeda beberapa menit saja, satu bungkus makanan ringan itu langsung hilang menyusul minuman bersoda yang lebih dulu tiada.

Coki beranjak dari tempat duduk lalu membuang sampah bekas makanan dan minumannya ke dalam tong sampah berwarna hijau. Di bagian muka tong sampah berbentuk kotak itu, sebenarnya jelas-jelas terdapat tulisan “organik”. Artinya, tempat sampah itu diperuntukkan bagi sampah-sampah yang gampang terurai di alam. Seperti sisa-sisa makanan, kulit buah, sayuran, daging, dan lain sebagainya.

“Lho, Cok. Kenapa dibuang ke tempat sampah organik? Itu kan plastik?”

“Apanya, Dit?”

“Ya itu, sampah yang barusan kamu buang.”

Di area kerja tersebut sebetulnya terdapat dua tempat sampah berbeda: satu berwarna hijau dan satu lagi berwarna kuning. Fungsinya pun jelas tidak sama. Hijau untuk sampah organik, sementara kuning untuk anorganik. Sampah botol plastik dan bekas kemasan camilan Coki tadi termasuk ke dalam golongan sampah yang terakhir disebut.

“Karyawan lain juga sama kayak aku sih, Dit. Yang penting, sampahnya dibuang ke tempat sampah, kan? Daripada dibuang sembarangan.”

“Lha, terus kenapa dong itu tempat sampahnya ada dua kalau ternyata semua sampah bisa masuk mana saja?”

“Nah, itu. Aku juga tidak tahu.”

Radit hanya bisa mengela napas panjang. Walaupun dia sudah sangat ingin mengumpat, tapi dia tahu diri. Dia adalah karyawan baru. Prinsipnya, jangan mencari keributan di tempat baru. Karena masalahnya bakal jadi kompleks.

“Eh, Dit. Memangnya kenapa sampah-sampah ini harus dipisahkan? Aku beneran enggak tahu alasannya. Ga ada yang ngasih tahu juga.”

“Sebentar. Orang yang menyediakan tempat sampah ini memangnya siapa?”

“Ya itu, si Pak Erik. Tapi, dia ga pernah ngasih tahu alasannya. Dia juga ga pernah komplain kalau kami buang sampah ke tempat mana saja,” jawab Coki sambil berusaha mengingat-ingat.

“Jadi gini, Cok. Kamu tahu enggak, seberapa lama sampah-sampah ini akan terurai di alam?”

“Waduh, pertanyaan yang berat.”

Sampah organik sangat gampang terurai, terang Radit. Sementara sampah anorganik sebaliknya: membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk benar-benar bisa terurai atau “lenyap” di alam. Nah, kalau sampah-sampah itu tidak dipisah menurut jenisnya dan malah di-campur-adukan dengan sampah lain, maka waktu penguraiannya akan lebih lama lagi.

“Apalagi kalau sampah B3 disatukan dengan sampah lain. Bukan hanya soal waktu penguraiannya yang lama, tapi berbahaya juga karena bisa mencemari lingkungan.”

“Wah, yang bener, Dit?”

“Lho, ya bener lah.”

“Tapi, di sini kan tempat sampahnya cuma ada dua, Dit. Buat sampah B3 rasanya ga ada.”

“Iya. Padahal harusnya ada. Warna tempat sampahnya biasanya merah.”

Bahkan, terang Radit lagi, idealnya tempat sampah itu ada lima jenis. Selain warna hijau untuk sampah organik, kuning untuk sampah anorganik, merah untuk sampah B3, harusnya ada juga yang berwarna biru dan abu-abu.

Tempat sampah warna biru, digunakan untuk membuang sampah berbahan kertas atau sejenisnya. Misalnya saja, dokumen-dokumen cetak yang sudah tidak terpakai, buku, kertas bekas bungkus makanan, kardus, dan semacamnya. Sedangkan tempat sampah berwarna abu-abu digunakan untuk mewadahi sampah-sampah residu di luar jenis sampah yang telah disebutkan sebelumnya.

“Eh tapi, sampah B3 itu apa sih Dit?”

“B3 adalah akronim dari Bahan Berbahaya dan Beracun.”

Sesuai namanya, sampah jenis ini memang berbahaya karena sifatnya yang bisa saja mudah terbakar, mudah meledak, beracun, korosif, dan lain sebagainya. Contoh sampah B3 yang biasa ditemui dalam keseharian itu banyak sekali. Di antaranya, parfum, obat nyamuk, pembersih lantai, lem, sampo, sampai detergen.

“Batu baterai juga termasuk tuh,” tandas Radit.

Saat obrolan mencapai akhir, tiba-tiba saja pak Erik lewat sambil menenteng dua buah batu baterai bekas. Dia sempat terlihat kebingungan untuk membuang sampah B3 tersebut pada tempat yang mana. Namun pada akhirnya, pilihannya jatuh pada tempat sampah warna hijau.

×